Mengapa Cemas?
Sumber: Google (google.com) |
Selama dua
hari kemarin di gedung H7 lantai dua Universitas Negeri Malang sedang
berlangsung Pelatihan Manajemen Stress. Pelatihan ini diselenggarakan oleh
Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Universitas Negeri Malang atau
singkatnya LP3 UM (as you know, ini
seperti BK yang ada di sekolah-sekolah SMP atau SMA). Ada 103 mahasiswa yang mendapat
kesempatan untuk menjadi peserta dalam pelatihan ini, tidak terkecuali saya
dengan tiga orang teman saya: Yulia, Bunda (nama sebenarnya adalah Putri.
Karena di kelasnya terdapat tiga orang yang bernama Putri, teman-temannya
memberi mereka bertiga masing-masing nama panggilan yang berbeda, dan saya
masih belum paham mengapa mereka memanggil teman saya ini Bunda), dan seorang
cowok bernama Ekky. Untuk diketahui saja, selama dua hari tersebut 103 peserta
pelatihan ini dapat dikatakan mengikuti pelatihan ini dengan seolah-olah
antusias. Sebagian peserta merupakan mahasiswa semester akhir yang mengaku stress
dalam pengerjaan skripsi dan/atau tugas-tugas akhir lainnya. Sebagian lagi
adalah mahasiswa-mahasiswa yang melabeli dirinya sebagai ‘anak kos pengejar
kebutuhan fisiologis’ (baca: pemburu makan siang gratis). Tak ketinggalan para
mahasiswa aktivis kolektor berlembar-lembar surat berjudul ‘Sertifikat’. Namun
percaya saja, apapun jenis-jenis motif yang membawa langkah kaki mereka ke
tempat ini, mereka sepenuhnya sadar bahwa mereka sangat membutuhkan apa yang
telah disiap sajikan para pemateri di panggung presentasi Aula Gedung H7.
Pelatihan Manajemen Stress.
Saat hari
pertama, semua peserta diberi print-out
materi yang akan disampaikan dalam pelatihan dan selembar rundown acara untuk dua hari ke depan ketika akan memasuki ruangan.
Tertulis di sana lima sesi penyampaian materi, tiga sesi di hari pertama (Definisi
Stress dan Faktor Penyebab; Gejala-gejala Stress dan Pengaruhnya Dalam
Kehidupan Sehari-hari; dan Coping Stress)
dan dua sesi untuk hari kedua (Role play
Manajemen Stress Melalui Penentuan Skala Prioritas; dan Menurunkan Stress
dengan Teknik Relaksasi). Harapan saya dan dan tiga teman saya sih dapat mengikuti kelima sesi ini,
karena pada hari Kamis saya hanya ada satu mata kuliah (dan kami memutuskan
untuk mewakilkan kehadiran kami di kelas kepada selembar kertas dispensasi),
dan di hari Jum’at kami tidak ada kelas perkuliahan alias free. Namun nyatanya takdir telah dikehendakkan lain. Jum’at pagi,
dosen salah satu mata kuliah yang kami tempuh menghendaki UTS, di jam yang sama
saat berlangsungnya sesi Role play
Manajemen Stress Melalui Penentuan Skala Prioritas. Jadilah kami dilema saat
itu. Entah benar atau tidak, mungkin pemikiran saya saat itu sama seperti yang
sedang kalian pikirkan saat membaca bagian ini: dosen tidak akan pernah kehilangan cara untuk menjadi
menyebalkan (atau menjadi stressor?), dengan menjadi plan-breaker misalnya.
Yah, apa daya kami
yang memang hanya mahasiswa mainstream,
dapat dipastikan bahwa keputusan akhirnya adalah Jum’at pagi itu kami masuk ke
kelas untuk mengikuti UTS mata kuliah tersebut bersama teman-teman sekelas kami
(karena salah satu hal yang dibenci oleh mahasiswa adalah melaksanakan ujian
susulan ketika teman-teman yang lain sudah melaksanakan ujian lebih dulu).
Setelah pukul 09.35, kami kumpulkan dengan segera kertas folio yang selama 60
menit telah kami corat-coret dengan keterbatasan pemahaman kami terhadap mata kuliah
tersebut. Bergegas berjalan menuju LP3 yang terletak di pusat kampus (jangan
harap untuk dapat mengitari kampus UM dengan motor atau bahkan mobil pada hari
Jum’at, kecuali memang sudah berniat menghancurkan palang-palang besi
bertuliskan ‘Car Free Day’ yang
dipasang pada tiap-tiap tikungan jalan) dengan tidak mengingat lagi apakah rumus
yang saya tuliskan di lembar jawab tadi ∑X2 kemudian (∑X)2 atau
malah kebalikannya.
Tidak jauh
berbeda dengan even-even pelatihan atau seminar-seminar lain yang menyediakan ‘Sertifikat
Penghargaan’ kepada peserta-pesertanya, pelatihan ini mensyaratkan pemenuhan
presensi (yang biasanya 4 bahkan 6 kali tanda tangan setiap kali presensi) yang
telah disediakan meja sekretariat yang terletak di depan pintu masuk. Konon ada
yang mengatakan pukul 08.30 panitia dari LP3 akan membereskan meja sekretariat dan
mengamankan kertas-kertas presensi, dengan kata lain peserta yang datang lewat
jam tersebut tidak diperkenankan mengisi presensi. Akibatnya sudah pasti, sertifikat
peserta ditahan oleh panitia dan peserta tidak dapat mengambilnya. Sepanjang
perjalanan kami menuju LP3 tiga teman saya berlomba saling mengutarakan
kecemasannya.
“He, Rek,
yo opo nanti kalo nggak bisa presensi?”
“He iya gimana ini?”
“Berarti kita
nanti nggak dapet sertifikat?”
“Nanti
dibolehin masuk ruangannya nggak ya?”
Dan banyak
lagi kalimat-kalimat senada, sahut-menyahut dilontarkan mereka bertiga dengan
nada yang masing-masing tidak mau kalah menunjukkan kecemasannya. Aku yang
berjalan di paling belakang kemudian menimpali dengan nada santai, “Tak bilangin,
Rek. Nanti ya, pas kita nyampek ke sana terus ketemu mbak-mbak
panitia, mbak-mbak panitianya nanti bakal bilang gini, ‘Maaf, kalian terlambat. Kalian tidak diperbolehkan
mengikuti pelatihan di dalam. Silahkan keluar dan pulang’. Gitu, Rek.”
Tidak sampai
lewat satu detik mereka serentak membantah, “Nggak mungkiiinnn...!!!”
“Ya nggak mungkin lah kalo diusir..”
“Nggak mungkin banget itu..”
“Emang itu
acara apaan? Sampai ngusir-ngusir segala..”
“Itu mah cuma ada dalam imajinasimu aja,
Sil..”
Dengan gaya bicara yang masih kalem saya katakan kepada mereka, “Nah itu, Rek. Yang kalian sahut-sahutan dari tadi
itu sebenarnya cuma imajinasi kalian aja.
Padahal sebenarnya kalian nggak perlu
secemas itu karena kalian itu sebenarnya sudah tahu kalau kemungkinan-kemungkinan
buruk nggak penting yang kalian omongin tadi nggak akan terjadi, buktinya tadi pas aku bilangin kemungkinan buruk yang paling nggak masuk akal kalian bisa ngebantah.
Bayangin aja, apa susahnya sih bilang ke panitia kalau kita tadi emang lagi UTS? Kalo nggak bisa presensi
ya udah lah nggak papa, yang penting kan kemarin
udah dapet print-out materinya.
Jangan lupa, yang paling penting itu makan siangnya. Panitia nggak bakalan ngusir kok, soalnya bakal mubadzir kalo mereka pesen makan
siang sebanyak jumlah peserta tapi nggak
ada yang ambil,” kalimat saya yang terakhir cukup membuat tawa antara kami
berempat pecah, mengiyakan alasan yang sebenarnya menjadi motivasi dasar kami
mendatangi pelatihan ini.
Seperti yang
seringkali terjadi di kehidupan kita sehari-hari, kita sepertinya memiliki
kecenderungan suka membuat diri sendiri cemas dengan menyatakan
kemungkinan-kemungkinan buruk terhadap sesuatu yang belum terjadi, seolah-olah apa
yang kita pikirkan itu memang benar-benar akan terjadi. Entah kepuasan jenis
apa yang telah mampu dihasilkannya, sampai-sampai kebiasaan ini cukup
menimbulkan ketergantungan pada diri kita. Memang, pada beberapa situasi tertentu menciptakan
rasa cemas itu diperlukan untuk memacu diri agar dapat melakukan hal-hal yang
lebih produktif atau hanya untuk sekadar melakukan sesuatu yang dirasa cukup
sebagai penggugur kewajiban. Namun yang banyak terjadi kebiasaan ini sebenarnya
justru malah menimbulkan kecemasan yang tidak terkendali dan menjadikan diri
sendiri panik, dan pada selanjutnya membuat diri sendiri kesulitan untuk dapat
berpikir rasional. Jika saja kita mau sedikit berusaha untuk tetap optimis dan
memberi kesempatan kepada otak kita untuk berpikir rasional, akan lebih mudah bagi
kita untuk menemukan solusi pada masalah yang sedang kita hadapi. Semua yang
terjadi pasti akan baik-baik saja, apalagi kalau hanya untuk masalah-masalah
kecil seperti yang sudah saya ceritakan di atas. Cobalah untuk membantah
kecemasan yang sekiranya tidak diperlukan saat menemui suatu masalah. Mungkin
salah satu caranya adalah dengan menciptakan kemungkinan paling buruk yang
paling tidak rasional, maka diri akan secara otomatis membantah pernyataan itu
dengan menciptakan pernyataan-pernyataan yang rasional yang memicu otak untuk
lebih optimis.
Dan sesampai kami
di LP3, kami disambut ramah oleh panitia yang bertugas di meja sekretariat dan bahkan
dipersilahkan untuk prensensi sebelum memasuki ruangan.
Sekian. Iya, memang begitu
saja. Semoga saya tidak lupa untuk menuliskan apa yang saya dapat dari
Pelatihan Manajemen Stress tersebut pada postingan saya selanjutnya.
Komentar