Filosofi 'Adang Sego'

Pas lagi gabut, tiba-tiba saya kepengen throwback kebiasaan lama saya: blogwalking. Akhirnya saya sampai ke sini => https://ryanbhuled.wordpress.com/2010/08/06/cerita-beras-dan-kuliah-filosofi-beras-untuk-pendidikan/ . Diceritakan oleh Penulis tentang permisalan antara kuliah dengan nasib beras. Silahkan baca sendiri untuk lebih lengkapnya.

Sepulang saya dari blog itu, saya jadi ingat zaman saya awal-awal mengikuti Pramuka di SMK. Saat itu pembina kami adalah Kak Sutikno atau biasa kami panggil Kak Tik (semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada beliau dan keluarga). Suatu sore, saya dan 23 teman saya berlatih untuk persiapan Lomba Pramuka Antar Penegak “RRSC Semar II” yang akan dilaksanakan di UNS Surakarta. Saat kami selesai berlatih dan beristirahat di area pendopo, Kak Tik datang menghampiri kami. 

“Saya tidak mau mengajari kalian Sandi Morse, Semaphore, baris-berbaris, atau yang lain-lainnya. Itu biasa, gampang. Saya yakin kalian bisa latihan sendiri,” kira-kira begitu yang sering diucapkan oleh beliau jika ditanya mengapa jarang hadir saat kami latihan rutin. 

“Saya akan bagikan ilmu yang bermanfaat kepada kalian, yang tidak semua orang seberuntung kalian dapat mendengarkan ini.” Dan memang, kami selalu merindukan kehadirannya di tengah-tengah kami, sebab kehadirannya selalu membawa sesuatu yang unik dan baru untuk kami.

“Ada yang bisa menjelaskan proses adang sego (menanak nasi)?”

“Nggak bisa Kak.”

“Masak nggak bisa? Anak pramuka kok nggak tau cara menanak nasi?”

“Lah kan sego (nasi) itu udah mateng, masak mau didang (ditanak)? Yang ada itu adang beras dadi sego (menanak beras menjadi nasi).”

“Hmm, pinter-pinter anak-anakku ternyata. Ya sudahlah pokoknya itu. Bisa menjelaskan kan?”

Ada yang masih iseng menjawab, “Pakai magicom. Kasih air, colokin kabel, tekan tombol cook. Tunggu sampai matang.”

Semprul! Kalau itu saya nggak nanya.”

Kami semua tertawa. Kami memang suka bercanda dengan beliau sebab beliau orangnya blak-blakan dan friendly meskipun usianya jauh di atas kami. Setelah itu satu persatu dari kami bergantian menjawab, mulai dari mencuci beras yang umumnya dilakukan lebih dari sekali, kemudian direbus, lalu dikukus sekitar 30 menit.

“Sekarang kita kupas satu persatu.” Kami mendengarkan dengan seksama.

“Pertama, beras dicuci berkali-kali. Mulai dari berasnya dulu deh. Beras itu apakah bisa langsung dikonsumsi?”

“Ya nggak lah, Kak.”

“Nah. Beras tidak bisa langsung dikonsumsi karena keras. Jika diibaratkan, beras itu ibarat otak manusia. Beku. Bebal. Perlu diolah, dididik dengan ilmu. Tanpa ilmu, manusia itu tidak akan bisa jadi orang yang berguna. Orang bernilai karena ilmunya.”

“Sekarang kita ke proses mengolah beras. Sebelum beras dimasak beras harus dicuci, sebab beras itu sudah pasti masih kotor. Begitupun otak manusia, otak manusia awalnya sangat bodoh. Sebelum ia siap ‘dijejali’ dengan banyak ilmu, ia harus dibersihkan dulu. Dengan apa? Dengan diajari membaca. Jika diibaratkan, proses mencuci beras ini adalah jenjang pendidikan kalian yang paling rendah, di TK. Yang pertama kali diajarkan di TK pasti belajar membaca kan? Dari pengenalan huruf dari A sampai Z, atau angka 0 sampai 9? Nggak mungkin kan kalian masuk TK tahu-tahu langsung disuruh membaca kalimat atau disuruh ngerjain penjumlahan.”

“Nah, beras tadi harus dicuci selama berkali-kali, atau minimal 3 kali lah. Walau sudah dicuci berkali-kali, apakah air bekas cucian beras itu akan bening? Kalian pernah mendapati air bekas cucian beras itu bening?”

“Tidak.”

“Tidak. Berapa kalipun kamu mencuci berasnya, air bekas cuciannya akan selalu keruh. Belajar membaca pun demikian, butuh latihan berkali-kali. Air cucian beras yang pertama, selain sangat keruh, pasti ada kotorannya kecil-kecil yang ikut terbuang (misal: kulit padi). Itu ibarat kalian pertama kali mengenal dan menghafal huruf A sampai Z, angka 0 sampai 9. Pencucian selanjutnya diibaratkan pelajaran yang kalian dapatkan selanjutnya, seperti merangka huruf dan cara membacanya dimulai dari suku kata, suku kata menjadi kata, kata menjadi kalimat. Begitu seterusnya sampai kalian mahir membaca, latihan itu dilakukan terus-menerus. Dan makna ‘air cucian beras akan selalu keruh’ adalah selama apapun manusia belajar otak manusia akan selalu bodoh, pasti ada saja ilmu yang belum pernah kamu pelajari.”

Wow! Untuk seumuran kami waktu itu (saat itu saya masih berusia 15 tahun) itu adalah hal paling keren dan menakjubkan yang pernah kami dengar. Padahal itu baru tahap mencuci beras.

“Kemudian proses yang kedua.. Sek, kalian nggak haus kah? Istirahat dulu aja sana, beli minum di kantin atau gimana gitu. Kasihan kalian capek latihan panas-panasan.”

“Nggak Kak, lanjutin lagi.”

“Sebenarnya mulutku garing ngecepres terus,” sembari meraih es teh yang sudah kami sediakan untuk beliau. Melihat beliau minum, kami jadi teringat rasa lelah dan haus kami setelah latihan tadi. “Ah, seger tenan.. Yakin kalian nggak mau minum-minum dulu?”

“Iya ya, kok haus habis latihan. Eh tapi lanjut aja lanjut aja Kak. Nanggung.”

“Beneran?”

“Iya.”

“Ya sudah terserah kalian. Sampai mana tadi?”

“Abis cuci beras Kak.” Kami kembali terlupa pada rasa lelah dan harus tadi, sebab penasaran dengan kelanjutannya.

“Oh iya. Setelah beras dicuci selanjutnya beras direbus, dalam bahasa kita (Bahasa Jawa) proses disebut ngaru atau dikaru, dikeru. Apa tujuannya?”

“Biar berasnya lunak.”

“Biar berasnya melunak. Otak manusia yang awalnya keras tadi, biar ‘encer’, perlu digodok, direbus, istilah Jawa-nya ‘digulowentah’, diolah. Proses dasar melunakkan beras itu direbus, diibaratkan sebagai jenjang pendidikan kalian yang lebih tinggi dari yang sebelumnya, dari TK menuju SD, dan dari SD menuju SMP. Di SD, setelah kalian bisa membaca, kalian diberi ilmu-ilmu dasar. Seperti kalau pelajaran Bahasa Indonesia kalian diajari tentang unsur S-P-O-K. Matematika juga dasar-dasarnya dari penjumlahan dan pengurangan, terus perkalian, pembagian, pangkat, akar, dan seterusnya. Lalu Pendidikan Agama, IPA, IPS, dan lain-lain. Ilmu-ilmu umum ini yang perlu kalian kuasai dan menjadi bekal untuk kalian menempuh ilmu yang selanjutnya.”

“Lalu beras ‘karu’ tadi dikukus. Kenapa dikukus? Karena jika direbus saja beras itu belum matang dan belum bisa dimakan. Begitu pula kalau manusia hanya lulusan SMP, umumnya akan susah cari kerja, kurang bisa bermanfaat bagi orang lain. Untuk bisa bermanfaat manusia harus mematangkan ilmu yang dimilikinya, menentukan jurusan yang ingin dia kuasai. Naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, SMA/SMK atau yang sederajat. Kalau di SMA ada jurusan IPA, IPS, Bahasa dll. Kalau kalian-kalian ini ya Akuntansi, Marketing, Administrasi Perkantoran, dan Multimedia (ini sebelum SMK tempat saya bersekolah membuka jurusan Akomodasi Perhotelan). Dan mengukusnya tadi ada waktunya. Berapa lama waktunya?”

“Nggak tahu Kak, lha wong ibu saya masaknya di magicom.”

“Lah, anak Pramuka kok nggak tahu cara masak nasi.”

“30 menit,” sahut saya.

“Nah betul itu Silmi, sekitar 30 menit. Anaknya penjual di kantin kok, ya mesti aja tahu.” Kami semua tertawa. Saya hanya cengengesan. Saya sih sudah hafal proses ini sejak kelas dua SD, dan saya selalu meraih nilai tertinggi di mata pelajaran Tataboga.

“Kira-kira 30 menit untuk membuat nasi itu matang. 30 menit ini diibaratkan waktu yang dibutuhkan manusia untuk bisa menjadi ‘manusia yang matang dan siap disuguhkan ke masyarakat’, biasanya manusia butuh waktu kira-kira 30 tahun untuk bisa berguna, dikenal kontribusinya kepada masyarakat. Silahkan dihitung kalian sudah/akan berapa tahun menempuh pendidikan.”

“TK dua tahun..” Saya sendiri dulu TK hanya satu tahun. Mungkin itu sebabnya saya merasa kalau perkembangan kognitif saya agak ‘abnormal’, semisal bicara tidak lancar, lemot, dan seterusnya.

“..terus SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMK 3 tahun. Total 14 tahun Kak.”

“Total 14 tahun. Padahal saya tadi mengatakan 30 tahun. Kemana sisanya?”

Kami semua diam.

“Sisanya adalah kelanjutan kalian setelah SMA. Entah itu kuliah, kursus, atau bekerja. Kalaupun bekerja, kalian akan mulai dari tingkat yang lebih rendah, kemudian naik, lalu naik lagi. Sampai kalian pada level yang dapat dipandang orang lain. Semua itu untuk eksistensi kalian di masyarakat. Nasi yang dikukus selama 14 menit itu sebenarnya sudah bisa dimakan, tapi kalau diangkat, nasinya akan cepat basi. Begitu juga kalian, kalau cuma lulus SMK, udah pasti bisa kerja, tapi mesti di level bawah. Kalau di pabrik paling-paling di bagian produksi atau gudang. Nggak mungkin bisa langsung di bagian kantor atau level di atasnya. Nggak mungkin anak lulusan SMA sederajat bisa langsung jadi pemimpin, jadi lurah, camat, bupati, presiden. Nggak mungkin bisa langsung jadi dokter, guru, pegawai kantoran. Nggak mungkin orang itu langsung jadi orang terpandang. Semua punya masa, sampai kira-kira 30 menit, nasi baru bisa disantap. 30 tahun, atau mulai 25 tahun lah, manusia meniti levelnya bertahap dari yang rendah, naik, naik lagi, sampai bisa ‘dihidangkan’ di masyarakat. Jika kalian masuk TK usia 5 tahun, maka prosesnya akan sampai sekitar usia 19-35 tahun. Ini usia produktif yang biasanya digunakan sebagai syarat rekruitmen kerja. Dan kamu akan ‘dimanfaatkan’ sampai usia 50-65/70 tahun. Itu usia produktif.”

Wah, kami baru menyadari betapa kerennya proses menanak nasi. Ternyata bisa diaplikasikan ke kehidupan manusia.

“Dan sebenarnya filosofi menanak nasi itu belum cukup. Kalian kalau makan nggak mungkin makan nasi aja kan, pasti ada pelengkapnya? Makanya masih ada lagi filosofi sayur bayam, sayur asem, sayur sop, sayur lodeh, dan lain-lain. Isi sayur itu nanti bermacam-macam, misalnya sayur asem ada daun ketela, kacang panjang, jagung. Atau sayur sop, ada wortel, kubis, kentang, buncis, dan lain sebagainya. Belum lagi bumbu-bumbu pelengkapnya. Bagaimana untuk mendapatkan semua yang dibutuhkan kamu perlu berusaha, entah itu pergi ke pasar beli sayuran, main ke rumah tetangga minta tomat atau bumbu dapur lainnya, atau metik sayuran di pekarangan rumah.”

“Dalam kehidupan nyata, pendidikan formal itu memang penting, sebagaimana nasi. Tapi itu aja nggak cukup, selain itu kalian butuh ilmu tambahan, misalnya kalau anak kecil itu ada sekolah ngaji atau TPQ, di sekolah ekstrakurikuler, atau ilmu-ilmu lain yang kalian perlu berusaha mendapatkannya di luar pendidikan formal. Silahkan ditelaah sendiri proses seperti menanak nasi tadi. Saya capek ngoceh terus,” tutupnya sambil menyeruput es tehnya yang tinggal tersisa bongkahan kecil es batunya. “Udah selesai kan? Silahkan kalian istirahat. Sama minta tolong pesenin saya es teh lagi.” 
Beberapa dari kami berdiri dan menuju ke kantin setelah mengucapkan banyak terima kasih kepada beliau. Masih membekas tentang bagaimana menakjubkannya proses yang selama ini kita anggap biasa, ternyata bisa bermakna sebegitu luas. 

Di usia saya yang hampir menginjak dua puluh tahun, pemisalan-pemisalan yang dijelaskan Kak Tik di atas kini semakin tergambar dengan jelas. Tinggal menghitung seberapa lama saya harus matang, dan setelah matang nanti apakah saya akan menjadi ‘nasi yang baik’? Dan lagi, dunia kerja saat ini lebih mengutamakan fresh graduate, yang bila dianalogikan bahwa nasi dan kelengkapannya lebih nikmat saat dikonsumsi anget-anget. Duh, ku jadi lapar. Sekian. 



Ditulis setelah berusaha keras me-recall ingatan tentang 'Adang Sego' dari Kak Tik selama menjadi pembina pendamping latihan Pramuka, sayang sekali rasaya bila terlupa begitu saja. Jazahumullahi khair. Juga sebagai rasa terima kasih sebab pernah menjadi bagian dari teman-teman hebat tim ‘Kalah Menang Penting Budal (Good Job Assek)’ Pangkalan SMK Negeri 1 Cepu, Sangga Perintis: ‘Si Danton Paling Cetar’ Amalia Sasanti, Mbak Marti, Mbak Harni, Kak Susi, Mbak Eni, Eka ‘Jebor’, Ririn, Choi, Roma Ersita, Veti, & Retma; Sangga Pendobrak: Mas Dimas, Mas Fatkur, Om Eko Suti, Mas Aji, Mas Antok, Puguh, Pendi, Geng “Aa’ The Boy”: Mas Imam, Mas Eggy, Angga, Agus, Wahyu. Dan pembina-pembina luar biasa kami: ‘Komandan’ Kak Agung, Bu Ima & suami (Pak Fajar). Bahagia pernah menjadi bagian dari kalian. Sungguh, mengingat kalian menguras emosi, ku jadi baper. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah