Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah
Beberapa tahun yang lalu kalimat tersebut menjadi
terkenal sejak ditayangkannya sebuah iklan di televisi yang menggunakan kalimat
tersebut. Memang di zaman yang serba materialistik saat ini orang cenderung
akan meremehkan uang lima ribu. Untuk kalangan mahasiswa di sekitar saya, lima
ribu rupiah akan habis untuk satu kali jajan, dengan membeli segelas capcin,
atau sebungkus molen unyil, atau satu cup jagung manis, atau sebungkus cilok.
Tidak lebih. Namun ada salah satu pengalaman berharga saya tentang apa yang saya
dapatkan dengan uang lima ribu rupiah. Begini ceritanya.
Suatu hari saya keluar dari kelas mata kuliah
Psikologi Kepribadian dengan perasaan lega bercampur kecewa. Lega karena dosen
mata kuliah tersebut berhalangan hadir sehingga kuis dibatalkan, dan kelas
hanya diisi dengan presentasi materi selanjutnya yang diawasi seorang dosen
pengganti (bukan asisten dosen). Lebih melegakan lagi karena kelompok yang
ditunjuk untuk mempresentasikan materi bukanlah kelompok saya. Namun
ketidakhadiran dosen mata kuliah tersebut bagi saya berarti tertundanya UTS
susulan saya, menambah daftar tanggungan yang harus saya selesaikan untuk waktu
yang lain. Dalam hati saya mulai mengutuki diri, mengapa saya harus sakit
ketika UTS berlangsung minggu lalu.
Masih dengan kecewa yang belum hilang, kemudian
saya duduk di depan kelas dan membuka laptop saya, mencari penghiburan dengan
memanfaatkan wifi gratis yang disediakan fakultas. Beberapa chat masuk
mengingatkan saya pada hal lain yang perlu saya selesaikan di sebuah organisasi
yang saya ikuti, dan perhatian saya mulai beralih pada tugas-tugas saya
tersebut. Sesaat kemudian sebuah suara asing muncul di depan saya. Saya
mengangkat kepala saya untuk melihat siapa pemilik suara asing itu. Seorang
laki-laki berdiri di depan saya tengah mempromosikan sesuatu yang ada dalam
kresek hitam yang dibawanya. Tidak menarik, mungkin dia mahasiswa baru yang
sedang berjualan makanan ringan, pikir saya. Perhatian saya kembali ke laptop
saya dan apa yang menyibukkan saya sebelumnya. Masih terdengar laki-laki itu
memulai promosi barang bawaannya dengan gaya stand up comedy yang membuat dua
orang teman di sebelah kanan saya, Yulia dan Shevita, tertawa karenanya.
Perhatian saya jadi terusik karenanya dan saya menjadi penasaran dengan apa
yang dibawanya.
“Itu yang kamu bawa apaan sih, Dek?” tanya saya.
“Nah ini, Mbak, sesuatu yang spesial. Mbak tahu apa
isinya?” Ia membuka kresek hitamnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan
bertuliskan ‘kuning dadar’. “Ini, Mbak, Ku-Ning Da-Dar. Hanya dengan 4k Mbak
bisa dapet nasi kuning dengan lauk telur dadar. Di mana lagi bisa dapetin nasi
kuning dadar dengan harga empat ribu saja?”
Oh, jadi sebungkus kuning dadar yang membuatnya
berhasil mencuri perhatian saya. Yah, kalau di pasar dekat kos saya harga
kuning dadar memang bukan empat ribu, Dek, tapi tiga ribu, batin saya. Dari
kejauhan terdengar suara seorang perempuan berteriak, “Nggak usah dibeli, aku aja
tadi beli enggak ada sendoknya...”
“Heh, diem lu!” teriaknya kepada perempuan tadi. “Jangan
dengerin dia, Mbak. Soalnya yang ini beda, di dalam sini ada sendoknya kok”. Dari
ekspresinya yang awalnya marah kepada perempuan tadi kemudian kembali tenang
dan melanjutkan promosi kepada saya membuat saya tidak dapat menahan tawa saya.
“Kamu jualan buat apa sih, Dek?” tanya perempuan di
sebelah kiri saya, Vika. Dia sedari tadi rupanya ikut memperhatikan.
“Ini, Mbak, buat acara #Psychoteria5. Ayo, Mbak,
bantu saya beli ini.”
Oalah, #Psychoteria5. Rupanya ia masuk dalam
kepanitiaan inagurasi character building mahasiswa baru yang diselenggarakan
oleh BEM Fakultas.
“Kok cuma bawa satu, Dek?” Yulia menimpali.
“Nah maka dari itu saya bilang ini spesial, Mbak.
Ada sendoknya, yang Mbak itu beli tadi nggak ada sendoknya. Terus Mbak tahu
apalagi yang spesial?”
“Kerupuknya?” tebak Yulia dengan gaya guyonan,
seolah bisa menebak apa yang akan dikatakannya.
“Bukan itu, Mbak,” terlihat dari ekspresi mukanya,
sepertinya ‘kerupuk’ memang akan menjadi bahan guyonannya. Namun itu sudah
tertebak dari Yulia sehingga ia sejenak terdiam untuk mencari hal lain yang
sekiranya lucu.
“Oh iya, nasinya, Mbak. Nasinya ini..warnanya
kuning! Di mana lagi bisa dapetin nasi kuning yang warnanya kuning, Mbak?”
“Ya di mana-mana nasi kuning warnanya kuning, Dek”
“Oh iya juga sih ya,” sungguh saya tidak bisa
menahan tawa melihat Yulia berdebat dengan anak ini. Yulia mana pernah kalah
berdebat? Tiba-tiba dalam hati saya muncul rasa kasihan terhadap usahanya demi
menjual sebungkus nasi kuning. Ingin rasanya saya segera mengakhiri aksinya,
dan juga agar dia berhenti mengganggu usaha saya yang sedang mencari ketenangan.
Saya membuka tas dan mencari-cari dompet saya, sedangkan mereka berdua masih
berdebat. Kemudian diam-diam saya tarik uang lima ribu rupiah. Namun saya tidak
segera memberikannya. Sepertinya Yulia tahu apa yang saya lakukan.
“Kok saya malah jadi kayak stand up comedy gini ya?”
“Lha emang iya, tapi menurutku kamu masih kurang
lucu,” rupanya Yulia ingin sedikit mempersulitnya. Yah, kapan lagi bisa
ngerjain dedek-dedek mahasiswa baru.
“Duh, tolong dong, Mbak, bantu saya. Dibeli ya nasi
kuningnya, Mbak,”
Melihatnya memohon seperti itu, ingin rasanya saya
langsung berikan uang digenggaman saya ini dan membelinya. Beberapa detik
kemudian saya sadar, saya ingin melakukan itu hanya karena kasihan kepadanya.
Ini memberi celah kepada saya untuk merasa diri saya lebih baik dari dia dan secara
tidak langsung meremehkan dia dengan uang lima ribu rupiah di tangan saya.
Astaghfirullahal ‘adzim, saya merasa saya tidak boleh seperti ini. Kemudian
saya mencari alasan lain, alasan yang sekiranya dapat untuk meyakinkan diri
saya sendiri. Ah iya, pagi tadi saya hanya sarapan sedikit karena terburu-buru
berangkat, saya akan membelinya untuk saya makan setelah ini. Tapi saya merasa
alasan kedua saya ini masih belum meyakinkan hati saya. Saya harus mencari yang
lain.
“Mbak tadi kayaknya udah buka dompet kan, masak iya
nggak mau beli? Ayo dong, Mbak, dibeli..”
Yah, apa yang saya ingin lakukan sudah tertebak.
Memang ya, saya sama sekali tidak berbakat dalam menyembunyikan sesuatu,
apalagi berbohong. #uhuk
“Jujur ya, Dek. Sebenarnya saya sudah merasa
terhibur dengan guyonan kamu. Tapi tadi kamu dengar sendiri kan, teman saya
masih belum terhibur. Jadi tolong hibur teman saya ini dulu ya, nanti saya beli
nasinya. Beneran.” Entah apakah ini alasan yang tepat, tapi dengan mengajukan permintaan
setidaknya ada alasan lain bagi saya untuk mengeluarkan uang lima ribu rupiah
saya, bukan karena kasihan. Ya walaupun konsekuensinya saya masih harus
menerima gangguan-gangguan yang dia buat di depan saya.
“Hemm, apalagi ya kira-kira,” sepertinya dia sudah
mulai lelah ber-stand up. “Ah gini aja. Mbak mau palmistri?”
Palmistri? Dia bisa baca garis tangan?
“Kamu bisa, Dek? Aku mau dong,” pinta Yulia
bersemangat.
“Aku juga dong abis ini,” Shevita yang sedari tadi
hanya ikut tertawa mulai bersuara.
“Mbaknya mau nggak?” tanyanya menawari saya.
Sebenarnya ada rasa penasaran juga terhadap
palmistri, yang katanya dapat menggambarkan dengan akurat apa yang ada di dalam
diri seseorang, bahkan bisa membaca masa depannya. Namun saya ragu. “Nanti saja.
Silahkan teman saya saja dulu.”
“Ok. Saya minta tangan kirinya Mbak.”
Saya kembali terperanjat ketika dia meminta tangan
kiri untuk dibaca. Sepertinya saya tidak asing dengan kata ‘tangan kiri’.
Jangan anggap saya bodoh yang tidak tahu apa itu tangan kiri, tangan kiri ya
tangan yang ada di sebelah kiri. Namun sepertinya saya pernah mendengar sesuatu
tentang tangan kiri sebelum ini. Entahlah, saya malas mengingat. Yulia
menyodorkan tangan kirinya. Perhatian saya kembali pada laptop di pangkuan
saya. Walau mata saya sibuk membaca pesan-pesan yang ada di grup WhatsApp (saya
menggunakan WhatsApp di laptop) dan sesekali bermain-main di beranda Facebook
saya, beberapa kali saya mencuri-curi dengar dia ‘membaca’ garis tangan teman
saya itu.
“Mbak ini, orangnya gampang terpengaruh oleh
lingkungan sekitar,”
“Yah, kalo itu memang ada teorinya di Psikologi ada,
Dek. Lingkungan memang bisa mempengaruhi kepribadian,”
“Iya, Mbak, saya tahu. Tapi Mbak ini orangnya mudah
terpengaruh. Kan ada juga orang yang nggak mudah terpengaruh sama lingkungan.
Kalo Mbak, Mbak ini tergantung lingkungannya. Jadi kalo lingkungannya baik, ya
Mbak baik. Kalo lingkungannya jelek, ya Mbak jelek.”
“Haha iya bener banget itu, Dek, dia memang gampang
terpengaruh. Saya loh orangnya jelek, makanya dia sekarang ikutan jelek,” canda
saya mengiyakan perkataannya, sengaja saya lakukan untuk membuat Yulia jengkel.
Dan ternyata ekspresi jengkel itu berhasil tercipta di wajahnya.
“Enggak kok, Mbaknya nggak jelek. Mbak cantik.”
Tentu saja orang-orang yang ada di sana yang
mendengarnya tertawa, bahkan ada yang bersorak, “Ciee...”
“Ehemm, aku digombalin maba, Rek,” ujar saya sambil
tertawa. Mungkin ini jadi salah satu cara yang sering saya gunakan agar tidak
salting alias salah tingkah, atau bahkan baper, ketika ada orang lain yang
bercanda dengan menggoda atau menggombali saya. Maklum, wajah yang saya miliki
memang tergolong manis menurut kebanyakan orang, membuat saya sering mendapat
pujian walaupun hanya sekadar gombalan (kemudian muntah berjamaah). Cara yang
biasa saya gunakan tersebut adalah dengan menertawakan si penggombal. Namun
cara ini tidak disarankan jika penggombal adalah pasanganmu, karena dapat
menyebabkan pasanganmu malu, sungkan, bahkan sakit hati terhadapmu, dsb, dst.
Kemudian dia melanjutkan palmistrinya. Ada banyak
yang dikatakannya, dari perasaan-perasaan, asmara, sifat-sifat, bahkan
kesehatannya. Semuanya dijelaskan secara terperinci. Wow, ternyata palmistri
bisa sampai seperti itu ya. Ketika yang dia katakan adalah hal-hal negatif yang
dipunyai Yulia, Shevita berkata, “Waah kartunya Yulia dibuka semua di sini.”
Setelah beberapa saat ia lalu menyudahinya.
Kemudian saya berkata, “Temanku yang satunya, ya,”
“Beli dulu dong Mbak,”
“Iya-iya saya beli,” saya sodorkan uang lima ribu
rupiah yang sedari tadi saya genggam. Ia menerimanya dan memberikan bungkusan
nasi itu kepada saya. Ia lalu memasukkan uang yang saya berikan ke dalam saku
kemudian merogoh saku yang lain, sepertinya mau mencari uang kembalian untuk
saya.
“Bawa aja Dek kembaliannya,”
“Jangan Mbak, sebentar saya cari dulu,”
“Bawa aja nggak papa,”
“Beneran nih Mbak?”
“Iya nggak papa. Tapi itu, gantian temenku yang
satunya ya.”
“Yes! Oke, Mbak,” ia pun meminta Shevita memberikan
tangan kirinya.
“Nama kamu siapa sih, Dek?”
“Rangga, Mbak,”
“Oh.. Offering (kelas)?”
“A”
“Oalah offering A,” saya manggut-manggut.
Kemudian ganti Yulia yang bertanya, “Kamu asalnya
dari mana?”
“Dari Sulawesi, Mbak.”
Dari kejauhan terdengar teman-temannya menertawakannya
sambil berteriak, “Kamu ngapain kayak gitu?”
“Bodo amat, yang penting laku,” balasnya sambil
menjulurkan lidahnya ke arah teman-temannya. Kemudian ia kembali melakukan hal
yang sama kepada Shevita seperti yang ia lakukan kepada Yulia. Saya kembali
melanjutkan kesibukan saya dengan laptop saya, dan mencuri-curi dengar apa yang
dia katakan kepada Shevita, apa saja yang ada di garis tangannya. Setelah
beberapa lama dia langsung pamit.
“Terima kasih ya, Mbak. Maaf buru-buru, saya ada
keperluan.” Dan dia lari begitu saja. Saya berteriak, “Hei, Dek, saya belum,”
“Kapan-kapan lagi aja, Mbak. Mbak namanya siapa?”
“Nggak mau, ke sini sekarang!”
“Maaf, Mbak. Makasih ya..” dan dia pergi
menghampiri teman-temannya yang sedari tadi menungguinya.
“Yah,” gumam saya pada teman-teman saya, “padahal
tadi aku yang bayar, tapi aku malah nggak dapet giliran. Huft..” ujar saya
sambil menyenderkan kepala saya pada tiang penyangga di sebelah kiri tempat
saya duduk.
“Loh iya ya, Silmi kan yang bayar tapi kok malah
kita berdua yang dapet jasa,” ujar Shevita sambil tertawa.
Pandangan mata saya kembali ke arah layar laptop di
pangkuan saya. Masih teringat pada Rangga, kok dia paham betul tentang
palmistri? Saya pernah mencari di google, membaca palmistri itu menurut saya
susah. Banyak garis-garis kecil dan detil lainnya yang harus diperhatikan, yang
namanya garis venus lah, garis planet lah, apa lah itu namanya. Pasti banyak
yang perlu dihafal untuk mendalami palmistri. Atau mungkin dia sudah
berpengalaman di bidang itu? Di usianya sekarang?
Kemudian saya kembali teringat dengan proses
palmistri yang menggunakan tangan kiri. Ah iya baru saya ingat. Saya pernah
memiliki guru yang paham tentang hal semacam itu (saya tidak tahu namanya). Jangan
kira saya pernah mendalami ilmu-ilmu seperti itu, guru yang saya maksud di sini
adalah guru sekolah saya, tepatnya ketika SMK dulu. Jadi bukan guru ilmu hitam
saya. Ketika di kelas, beliau seringkali dimintai teman-teman saya yang
penasaran untuk ‘membaca’ tangan teman-teman saya yang mayoritas memang
perempuan, dan yang digunakan adalah tangan kiri. Tidak banyak yang dijelaskan,
hanya sekadar guyonan seperti apakah calon suamimu kelak seorang pegawai PNS
atau bukan. Hal-hal semacam itu beliau lakukan untuk selingan ketika mengajar
di kelas agar anak-anak tidak suntuk terhadap pelajaran. Beliau juga bisa
‘membaca’ yang semacam itu melalui anatomi wajah, misalnya bentuk alis. Namanya
juga remaja, saya pun ketika itu tidak kalah penasaran dengan yang lainnya dan
berebut kesempatan ketika beliau bersedia melakukannya, walaupun saya tahu hal
tersebut dilarang (dalam kepercayaan yang saya ikuti, semua jenis ramalan
sangat dilarang). Anehnya, saya selalu luput dari kesempatan tersebut. Sampai di
suatu hari beliau berpesan kepada kami:
“Untuk kalian
yang perempuan, hati-hati ya, Nak. Kalo ada cowok atau kalian yang udah punya
cowok minta gandeng pakai tangan kiri kalian, atau minta lihat tangan kiri
kalian, jangan mau. Putusin aja, Nak. Sebab di tangan kiri kalian itu terdapat
semua aib kalian para perempuan. Hari lahirmu bisa di lihat di tangan kiri
kalian (orang Jawa selalu menggunakan hari lahir dalam praktek guna-guna atau
yang sejenisnya, maka dari itu hari lahir menjadi rahasia bagi pemiliknya). Kalo
ada cowok yang bisa lihat hari lahirmu dari tanganmu, habis kamu, Nak. Pokoknya
jangan mau kalau tangan kiri kalian dilihat.”
Begitu kira-kira pesannya.
Walau saya masih heran mengapa saya selalu luput
dari kesempatan ketika guru saya bersedia untuk membaca garis tangan, bahkan
juga kejadian yang baru saja terjadi di depan saya, saya merasa beruntung
sekaligus bersyukur. Itu artinya belum pernah ada yang berkesempatan membuka
aib atau apalah yang terpendam dalam diri saya, walau sebenarnya saya masih
belum percaya apakah benar aib seorang perempuan itu terletak pada telapak
tangan kirinya. Dan uang lima ribu yang telah saya keluarkan, mungkin terlihat
membuat saya rugi karena saya tidak mendapat giliran palmistri mahasiswa baru
tersebut. Namun yang saya rasakan justru saya merasa terselamatkan dari praktek
tersebut, berkat uang lima ribu rupiah, dan teman-teman saya juga dapat bonus
hiburan.
Mungkin itu juga berkat usaha saya memperbaiki niat
dalam hati ketika akan mengeluarkan uang tersebut. Sebab saya percaya, niat
yang baik akan memberikan sesuatu yang baik pula bagi pemilik niat.
Sesaat kemudian saya merasa jenuh, dan ingin
kembali pulang ke kos saja. Kemudian saya tutup laptop dan mengemasi tas saya
lalu beranjak pergi dengan teman-teman saya. Sesampai saya di pintu keluar
fakultas, terlihat oleh saya Rangga keluar dari parkiran motor dibonceng oleh
temannya. Ia melambaikan tangan kepada saya, yang saya balas dengan lambaikan
tangan ke arahnya sambil tersenyum. Hal tersebut memancing teman-teman saya untuk
bersorak “Ciee..” atau sekadar berdehem kepada saya, namun saya babah-in (bodo
amat-in) saja.
Komentar