Maunya Manusia
Akhir-akhir
ini banyak media sosial memuat hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Entah
memang sedang musimnya atau bagaimana (mengingat ini adalah bulan Syawal, bulan
yang baik untuk menggelar hajatan, terutama menikah). Sekitar sepekan yang
lalu, saya juga mendapati unggahan foto-foto pernikahan di beranda Facebook
dari teman seangkatan SMK saya yang baru saja selesai melangsungkan pernikahannya.
Tentu
saya turut berbahagia atas kebahagiaan teman saya itu (jangan tanya saya kapan). Tapi entah mengapa waktu
itu tanpa sengaja saya bergumam, “Kok banyak
ya orang-orang seusia saya yang sudah memutuskan untuk menikah, sedangkan saya
dan banyak teman saya yang lain masih disibukkan dengan hal lain seperti
menyelesaikan studi ataupun mengejar karir. Ya Allah, apa ya yang dirasakan,
atau gimana sih pemikiran-pemikiran mereka saat mengambil keputusan untuk
berumah tangga?”
Beberapa
hari setelah itu, suatu siang ada pesan masuk di Whatsapp saya dari nomor yang
tidak saya kenal. “Assalamu ‘alaikum, apa
kabar?”, begitu pesannya. Berhubung nomor tersebut tidak terdapat di kontak
saya, dan saya pun tidak mengenali orang yang terdapat di foto profilnya, fokus
saya adalah menanyakan siapa dia, dari mana dapat kontak saya, dan apa
keperluannya (setelah membalas pesannya dengan salam tentunya). Bahkan saking
fokusnya saya sampai lupa bahwa dia menuliskan “apa kabar” di belakang salamnya dan saya tidak menjawabnya.
Jawabannya
singkat, “Aku pengen ta’arufan dengan
kamu.”
Deg.
Saya
panik luar biasa (saya adalah tipe orang yang mudah sekali panik saat menjumpai
situasi baru, di samping sifat-sifat negatif saya lainnya seperti pesimistik
dan introvert shy). Belum pernah
terfikir oleh saya untuk menjalani ta’aruf, dan memang sengaja untuk menunda
memikirkannya sebab saya memang tidak sedang berencana untuk menikah dalam
waktu dekat. Ya bagaimana bisa, orang saya mahasiswa BidikMisi, yang salah satu
ketentuannya adalah belum/tidak sedang menikah (dan masih harus saya jalani
selama dua tahun ke depan). Sedangkan setahu saya lamanya ta’aruf itu tidak
boleh melebihi 3 bulan, dan jika ta’aruf berhasil maka harus segera dilanjutkan
dengan khitbah atau lamaran kemudian menikah.
Si
ikhwan yang tadi mengirimkan pesan lagi.
“Respon.”
Udah
gitu aja.
Saya
merasa seperti sedang ditantang oleh Allah. “Kamu penasaran kan, dengan apa yang teman-temanmu rasakan?”
Seketika
itu ingin rasanya saya tepuk jidat sambil berkata, “Ya Allah, iya sih saya penasaran. Tapi ya nggak hari ini juga kali.”
Saat
itu dalam hati saya merasa jengkel, sebab pertanyaan saya tentang siapa dia dan
dari mana mengenal saya tidak dijawabnya, dan malah meminta respon. Itu karena
saat itu saya belum mengerti bahwa sebelum ta’aruf dimulai masing-masing pihak belum
diperkenankan menyampaikan identitasnya, dan saat ta’aruf dilaksanakan pun
diperbolehkan hanya memperkenalkan nama panggilan saja atau menggunakan nama
inisial. Sekarang saya sudah sedikit tahu (berkat ikhwan itu saya jadi kepo
tentang ta’aruf, walaupun sebatas searching
lewat Google), dan dalam hati saya berkata, “Keren ya ta’aruf, singkat padat dan jelas, to the point tapi tetap
dengan cara yang terhormat. Nggak seperti yang dilakukan banyak anak muda jaman
sekarang yang pdkt bertele-tele bahkan sambil bercanda genit kepada lawan
jenisnya (dan sedihnya saya kadang juga seperti itu 😭).”
Malam
harinya, saya sampaikan keputusan saya untuk tidak menerima permintaan
ta’arufnya, mengingat bahwa saya masih terikat dengan beasiswa saya dan tidak
mungkin (wallahu a’lam) bagi saya untuk menerimanya. Saya tidak ingin
mengulur-ulur waktu untuk menyampaikan keputusan saya, karena membuatnya lama
menunggu jawaban sama saja saya sedang menzaliminya (walau sebenarnya dia sudah
menunggu selama sepekan, gara-gara dalam sepekan kemarin laptop saya error
sehingga saya tidak dapat membuka Whatsapp).
Skip
sebentar ceritanya.
Hal
yang ingin saya bahas kali ini bukan seputar ta’aruf, tapi tentang manusia
mengelola keinginannya. Kasus kali ini dimulai dengan rasa penasaran saya
tentang “gimana rasanya dihadapkan pada
keputusan menikah”. Tapi pas Allah udah jawab, saya malah panik nggak
karuan. Sebelum ini saya juga pernah mengalami kasus yang hampir serupa. Ketika
saya menyukai seseorang, Allah kodein saya dengan pertanyaan “terus kapan kamu mau nikah?” Kodenya pun
bermacam-macam, yang pertama Allah hadirkan orang yang saya suka dalam hidup
saya, lalu di lain waktu ada anak kecil yang mau jodohin saya dengan kakaknya, dan
yang terakhir teman lama laki-laki saya yang dulu pernah menyukai saya datang
main ke rumah (dan saya bersyukur saat itu saya tidak sedang di rumah). Bagi
saya yang masih belum siap untuk menikah, kode-kode semacam ini terasa horor. Akhirnya
saya menyadari kebelum-siapan saya tentang apapun yang berkaitan dengan
pernikahan, dan saya memutuskan untuk mulai mengambil jarak dengan lawan jenis
saya.
Hal-hal
semacam itu juga sering terjadi pada keinginan-keinginan saya yang lain. Ketika
saya meminta sesuatu, kemudian Allah mengabulkan (atau membuka jalan menuju
terkabulnya keinginan tersebut), saya malah panik, saya jadi bingung, saya
mengeluh, saya tidak dapat menerimanya, saya merasa kecewa, atau perilaku
ketidak-syukuran lainnya, lantaran permintaan atau keinginan tersebut
seringkali hanya iseng dan/atau keinginan tanpa kematangan, atau bisa jadi
karena tidak memahami dengan baik apa keinginan saya. Dan katanya, hal ini
bukan terjadi pada diri saya saja, tapi hampir semua manusia di dunia ini
mengalaminya.
Saya
jadi ingat firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Dan apabila manusia ditimpa bencana, dia
memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; tetapi apabila
Dia memberikan nikmat kepadanya dia lupa (akan bencana) yang pernah dia berdoa
kepada Allah sebelum itu...” (QS. Az-Zumar: 8).
“...dan manusia memang selalu ingkar (tidak
bersyukur).” (QS. Al-Isra’: 67).
Ya
Allah.. 😭
Rabbanaghfirlana..
Saya
masih belum tahu apa obat yang mujarab atau solusi yang tepat untuk hal ini.
Yang pasti sejak saat itu saya mulai berusaha untuk berhati-hati dengan hati
saya, ketika berbicara dalam hati, juga dalam melontarkan keinginan, ataupun
menduga hal yang belum terjadi (maka dari itu saya tidak suka menebak-nebak). Sebab
kehendak Allah adalah sebagaimana dugaan hamba-Nya, dan katanya: Hati
adalah tempat “dialog” manusia dengan Tuhannya. Itu sebabnya hati seseorang
tidak dapat dibaca oleh orang lain.
Kembali
ke cerita awal. Beberapa saat setelah saya menolak permintaan ta’aruf si ikhwan
saya terfikir, “Ya Allah, saya nggak
kenal dia, dan bagaimana agamanya. Kalau dia laki-laki yang shalih, apakah saya
berdosa karena saya telah menolaknya?”
Sebab saya
pernah membaca sebuah hadits (saya kesulitan mengingat redaksi lengkapnya)
dikatakan di dalamnya bahwa jika menolak pinangan laki-laki yang baik agamanya,
akan terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas. Dan saya menjadi takut karena hal ini.
“Tapi, Ya Allah, bagaimana dengan beasiswa
saya?”
Dan
sampai sekarang saya masih galau karenanya.
Menjadi perempuan hanya ada dua pilihan: menjadi sebaik-baik perhiasan, atau menjadi sebesar-besar fitnah.
Komentar