Jadilah Peka

Katanya, kalau cewek yang awalnya pendiam, kalem, terus tiba-tiba berubah jadi power ranger pink rewel, sensitif, lebay, baperan, dll..itu adalah tanda-tanda cewek lagi PMS.

“Emang kamu lagi PMS Sil?”

“Enggak kok. Orang aku baru selesai haid beberapa hari yang lalu.”

Lalu apa?

Aku sedang mengalami kebanjiran afek (perasaan). Adalah suatu kondisi ketidakseimbangan di mana diri (self) merasa kewalahan menanggung berbagai macam perasaan yang sedang meliputinya, berbagai jenis emosi yang dirasakannya (nggak usah dicatet, ini cuma definisi karanganku saja).

Jadi, dalam teori psikoanalisis, self itu tersusun atas 3 bagian: id, ego, dan superego. Id adalah dorongan alamiah atau sifat bawaan makhluk untuk memenuhi kebutuhannya (seperti lapar untuk makan, marah untuk melampiaskan kekesalan, seks, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya) dan juga keinginan-keinginan. Lalu superego, kalau dalam bahasanya Pak Limas, berfungsi mengatur penciptaan rasa bersalah. Dia adalah penentang utama id. Aku selalu menyebut superego sebagai “penasehat diri”, untuk tidak selalu menuruti keinginan id, menjadi pengingat tentang bagaimana idealnya atau seharusnya diri berperilaku/bertindak. Nilai, aturan, moral, standar, logika, idealisme, ekspektasi, dll, ada di superego. Kemudian ego adalah bagian dari self yang biasa disebut kesadaran, berperan sebagai pengendali perilaku/tindakan, penengah antara keinginan id yang “primitif” dan aturan superego yang “idealis”. Dialah yang pada akhirnya memutuskan apa yang akan dilakukan oleh diri seseorang. Untuk pengingat saja, jangan kacaukan definisi ego, menyamakannya dengan kata egois (yang biasa diartikan dengan tidak mau mengalah atau ingin menang sendiri). Ego dan egois adalah dua kata yang berbeda makna. Seingatku, egois itu kalau dalam istilah psikologi namanya egosentrisme, dan egosentrisme termasuk dalam id.

Misalnya, ketika seseorang marah, id mendorong diri untuk melampiaskan kemarahannya dengan membanting barang-barang yang ada di dekatnya. Namun kemudian superego mengatakan kepada diri bahwa itu bukan perbuatan yang benar, karena suara bantingan barang bisa menganggu orang lain, atau bisa merugikan diri karena kehilangan barang tersebut. Kemudian ego bekerja, mencari cara agar keinginan id untuk melampiaskan kemarahan terpenuhi, namun juga tidak melampaui batas-batas yang ditetapkan si superego, misalnya dengan membuat humor untuk menyindir orang yang membuatnya marah, bercerita dengan teman dekatnya, berteriak kencang di tempat terbuka, atau menulisnya dalam buku harian.

Contoh lainnya, ketika seorang anak kecil belajar berpuasa. Sore hari selepas ashar ia merasa sangat kelaparan dan id mendorongnya untuk makan secara sembunyi-sembunyi. Namun dia urung melakukannya karena dia ingat guru mengajinya pernah berkata bahwa Allah Maha Tahu apa yang dikerjakan makhluknya (superego bekerja). Akhirnya dia memutuskan untuk tidur saja dan bangun ketika sudah waktunya berbuka puasa (ego).

Diri yang sehat adalah tentang performa atau kemampuan ego strength (kemantapan ego) yang cukup untuk merespon stimuli internal (pertentangan id dan superego) dan eksternal (misalnya peristiwa yang menyenangkan/menyedihkan yang terjadi di sekitar diri seseorang), menjaga keseimbangan sehingga dirinya tetap dalam kendali walaupun stimulus internal dan eksternal melanda dengan dahsyat. Performa ego strenght tentu saja dipengaruhi banyak hal, dari kondisi fisik, tekanan lingkungan sekitar, sampai hormon yang katanya bikin “PMS”.

Apa yang terjadi jika seseorang mengalami tekanan yang hebat, baik internal maupun eksternal, sehingga menyebabkan ego strenght-nya terganggu? Maka diri akan dipenuhi dengan pikiran atau perasaan yang tidak menyenangkan atau pun diliputi kecemasan (ansietas) yang tidak tertanggungkan. Yang paling sering terjadi adalah ini karena superego terlalu keras dalam menahan keinginan-keinginan id. Hal ini hanya akan menambah banyak tekanan di dalam diri seseorang, yang membuat orang tersebut merasa stress dan akhirnya berperilaku di luar kendali. Sampai di sini aku merasa kalimat “Jangan terlalu keras kepada diri sendiri” itu ada benarnya.

Kembali ke diriku yang mengalami kebanjiran perasaan. Beberapa waktu terakhir ada banyak hal yang kualami, yang sebenarnya pengen kuceritakan satu per satu tapi aku nggak mampu. Dari lelahnya tiga hari jadi panitia Himabo FC 2k17 di Bojonegoro, yang nggak cuma lelah fisik tapi juga lelah secara emosional. Pasalnya, aku seorang introvert, tapi aku ditempatkan di bagian registrasi yang sudah pasti berinteraksi dengan banyak orang. Bagi introvert, bertemu banyak orang itu melelahkan dan menguras energi (berbeda dengan ekstrovert yang justru semakin bersemangat jika bertemu banyak orang). Makanya orang introvert kalau udah terlanjur kecapekan itu lama banget pulihnya, yang bikin lama itu lelah emosionalnya, mengembalikan mood-nya seperti sedia kala L. Kalau udah kayak gitu, jangan heran kalau seorang introvert akan mengambil lebih banyak waktu untuk sendiri dan hanya ingin lebih fokus pada dirinya sendiri.

Dan saat ini, sebenarnya aku juga ingin memulihkan diriku. Tapi entah mengapa rasanya sulit sekali menyisihkan waktu untuk diriku sendiri. Entah itu karena deadline tugas kuliah, kelas online, atau proker organisasi yang berlomba-lomba untuk dituntaskan segera. Ah, semoga aku dapat segera menyelesaikannya satu persatu sebab aku sudah mulai rindu untuk me-time.

Lalu sepulang HFC, aku baru tahu kalau mamakku sedang sakit, sehingga di rumah nggak ada kesempatan buat istirahat karena aku harus meng-handle tugas-tugas rumah, juga warung makan di depan rumah. Belum lagi miskomunikasi yang terjadi antara aku dengan temanku. Waktu itu seorang temanku minta tolong kepadaku untuk dibawakan sesuatu ketika aku kembali ke Malang. Selama di Bojonegoro entah mengapa hpku selalu bermasalah, yang baterainya gampang ngedrop lah, yang sinyal susah lah, yang beli pulsa salah nomor lah, akibatnya aku kesulitan membalas SMS atau mengangkat teleponnya. Temanku itu nggak tahu “penderitaan” yang menimpa hpku dan malah menuduhku sengaja menghindarinya SMS/teleponnya karena aku nggak mau dimintai tolong.

Biasanya aku selalu berusaha untuk berpikiran positif dan bersikap setoleran mungkin atas perlakuan orang lain terhadapku. Ya begitulah naluri seorang introvert, selalu tidak ingin membuat orang lain merasa disakiti olehnya. Dalam keadaan normal mungkin superego-ku akan berbisik seperti, “Dia marah-marah kayak gitu karena dia nggak tahu kondisimu, Sil. Dia nggak bersalah, ini cuma miskom, dst lalala yeyeye...”. Tapi waktu itu, dengan kondisi fisik yang super lelah dan isi kepala yang sedang semrawut aku benar-benar kehilangan kendali diri. Malam harinya aku balas SMS-nya dan kuceritakan semua yang terjadi dan mengapa aku tidak bisa segera merespon SMS/telponnya.

Sebenarnya aku merasa bersalah karena tidak dapat segera meresponmu. Tapi pas baca SMS-mu yang terakhir, ya suwun boss.. Jujur aja aku sakit hati.” Aku sengaja menambahkan kalimat ini di akhir pesan.

Setelah berhasil mengirim pesan itu, tiba-tiba aku berpikir, kapan terakhir kali aku mengutarakan kekecewaanku, rasa sedihku, sakit hatiku, marahku, kepada orang lain? Sepertinya sudah terlalu lama aku tidak melakukannya, mungkin sejak tragedi kelas kosong waktu kelas tiga SD dulu (lain kali akan kuceritakan, semoga lupa #ups) aku selalu menyimpan setiap perasaan negatif untuk diriku sendiri, dan bersikap biasa saja seolah-olah aku tidak merasakan apa-apa. Lagi-lagi karena aku seorang introvert, aku selalu berusaha untuk menyenangkan setiap orang dan memperlakukan mereka dengan sebaik mungkin.

Mungkin beberapa orang akan menganggap ini hanyalah masalah sepele, hanya karena miskomunikasi. Aku saat mengingat masalah ini pun merasa sebenarnya hal ini bisa dibicarakan baik-baik. Tapi pada situasi tersebut, karena lelah yang hebat dan banyak energi yang terkuras, ternyata aku tidak mampu untuk mengendalikan diri. Baru aku menyadari betapa bersabar dan berpikir positif itu butuh banyak energi.

Jangan terlalu keras kepada diri sendiri”. Barangkali selama ini aku terlalu menahan diri untuk berbuat sesuatu demi menyenangkan banyak orang. Juga termasuk memaksakan diri untuk tetap merasa baik-baik saja atas perlakuan orang lain terhadapku. Sampai sekarang, aku merasa sulit sekali untuk berkata “tidak” atau menolak permintaan orang lain terhadapku, sekalipun permintaan itu terkadang memberatkanku. Seringkali beberapa teman dekatku merasa kesal atas apa yang kulakukan dan selalu mengomeliku dengan “Kamu jadi orang itu jangan terlalu baik, Sil,” atau kalimat yang semacamnya.

Kalau punya tujuan hidup untuk menyenangkan semua orang, akan ada satu orang yang menderita tak bahagia: diri sendiri.

Mungkin itu yang terjadi. Terlalu banyak perasaan yang kutahan sendiri justru membuatku semakin jauh dari perasaan bahagia. Memang, ada teori yang menyatakan bahwa membantu orang lain adalah salah satu cara untuk menciptakan rasa bahagia. Namun jika berlebihan bahkan sampai melupakan diri sendiri, mungkin sebaiknya aku harus segera meluruskan mindset-ku tentang membantu orang lain. Ini demi kesejahteraan psikologisku.

Dan beberapa waktu terakhir, aku mencoba melakukan katarsis, yaitu melepaskan emosi apa saja yang selama ini kutahan sendiri. Dari yang curcol lewat Twitter dan story Whatsapp, bercerita sendiri dan merekamnya, curhat ke temanku, bertingkah lebay, dan hal-hal lain yang selama ini selalu enggan kulakukan. Termasuk menangis. Bahkan untuk menangis pun aku perlu belajar. Karena selama ini aku selalu tidak pernah ingin terlihat lemah, dan aku menganggap hal-hal yang kusebutkan barusan adalah aktivitas-aktivitas cengeng nan nggak berguna (duh, rasanya sombong sekali diriku). Dan ketika aku mengalami suatu kejadian buruk aku selalu mengatasinya dengan beberapa defensi-defensi (mekanisme pertahanan diri) andalan, entah itu disosiasi, represi, humor, proyeksi, denial, ah..rasanya hampir semua jenis defensi yang totalnya mencapai 25 (atau lebih?) itu pernah kulakukan. Memang, beberapa defensi dapat mengatasi perasaan yang tidak menyenangkan, namun beberapa lain yang penggunaannya tidak tepat justru malah menghambat fungsi ego. Duh..

Maka dari itu, saat ini aku sedang belajar dan mencari tahu metode dan media katarsis apa yang cocok untukku. Ya walau pun selama ini aku sudah memiliki satu media katarsis andalan, yaitu menulis di blog. Namun pada beberapa waktu aku bertanya pada diriku sendiri, sampai kapan aku akan menjadikan menulis hanya untuk katarsis? Aku ingin belajar menulis untuk sesuatu yang produktif dan bermanfaat, bukan hanya sebagai pelepasan emosi semata.

Ah iya, kalau penasaran tentang defensi, silahkan cari sendiri di google atau buku-buku tentang psikoanalisis, terutama teorinya Sigmund Freud. Aku sudah capek mengetik. Atau mungkin setelah ini kamu bisa kirim pesan ke emailku atau di akun-akun media sosialku, nanti akan kukirimkan file-file tentang itu.

Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health 2017). Cobalah untuk sedikit lebih peduli dan berempati pada orang-orang di sekitarmu. Ada banyak orang yang terlihat baik-baik saja, namun sebenarnya mereka butuh seseorang untuk menjadi pendengar mereka, walau hanya sekedar joke garing yang mereka buat.
Dan untuk kamu, Sil, belajarlah untuk lebih peduli pada dirimu.

Be care! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'