Quiet (3)

Hai.
*krik-krik*

Ah langsung saja. Masih seputar usahaku dalam men-terapi diri sendiri. Quiet. Yah, sepertinya aku semacam kecanduan melakukan ini.

Akhir-akhir ini aku jadi teringat tentang masa kecilku. Aku dilahirkan di situasi yang cukup banyak konflik. Bukan penuh konflik, hanya cukup banyak. Di lingkungan yang dipenuhi orang-orang yang temperamental, semua orang selalu menaruh pandangan curiga satu sama lain. Masyarakat yang kurang sehat. Alhamdulillah, masih ada yang bisa kusyukuri: lingkunganku masih memiliki rasa sadar akan kebutuhan religius, tidak seperti kampung tetangga yang, menurutku, mengalami banyak kerusakan di masyarakatnya. Sewaktu SD dulu, mayoritas teman sekelasku (bahkan hampir seluruh siswa di SD-ku) adalah dari kampung tetangga itu. Jadi setiap hari aku sudah terbiasa mendengar mereka berkata-kata kotor dan kasar bahkan menyaksikan kenakalan-kenakalan fisik yang mereka lakukan.

Kalau di antara mereka absen alias bolos sekolah, semua warga sekolah sudah bisa menduga kalau hari itu mereka pergi ke luar kota untuk mengamen. Tidak banyak dari mereka yang menyelesaikan pendidikannya walau hanya tamat SD. Ada yang masuk SMP, tapi belum genap satu semester sudah keluar karena ‘kecelakaan’ dan mereka menikah dini. Bermain judi, kartu, minum minuman keras, dan banyak hal buruk lainnya seolah adalah rutinitas mereka. Seingatku, satu-satunya prestasi yang (kalau bisa dibilang) membanggakan dari kampung itu adalah salah seorang teman perempuanku mewakili kotaku ke ibukota provinsi mengikuti lomba tinju dan mendapat juara tiga. Saat itu aku kelas lima SD. Aku ingat, dua hari setelah perlombaan dia bercerita bahwa lawan tinjunya adalah seorang ibu-ibu yang sudah beranak dua dan postur tubuhnya lebih tinggi darinya, sehingga dia tidak mampu melawannya. Tentu saja kami tertawa mendengarnya.

Aku mengetahui keseharian mereka karena aku dulu hobi bersepeda dengan gerombolan atau kelompok main anak laki-laki, tetapi bukan anak-anak kampung sebelah yang aku maksud di atas. Mereka berasal dari lingkungan yang lebih baik dari kampungku maupun kampung tetanggaku. Kenakalan mereka masih dalam batas wajar di masa usianya. Alasanku bersama mereka, daripada kelompok main anak perempuan, karena sebagaimana karakteristik permainan anak laki-laki pada umumnya, lebih less drama, lebih asyik, lebih banyak aktifitas fisik dan tentu saja tidak terlalu mengkhawatirkan banyak hal (seperti kecapekan atau sakit/terluka). Pertemanan anak laki-laki juga lebih terbuka, lebih toleran dan yang pasti lebih kreatif karena tidak banyak kekhawatiran.

Lantas, apakah aku tomboy? Tidak. Mereka masih menganggapku perempuan walau aku banyak beraktifitas bersama mereka. Hanya mungkin karena terlalu banyak waktu yang kuhabiskan bersama mereka, aku memiliki karakteristik yang menyerupai mereka: cuek, berpikir simpel, santai, agak berantakan (hehe), mudah mengalah, sangat-sangat tertutup (terutama tentang hal-hal yang bersifat personal), less drama, dan beberapa lainnya.

Kembali lagi ke teman-temanku dari kampung tetanggaku. Walau tidak akrab, aku tetap berhubungan baik dengan mereka, begitu pula mereka kepadaku. Bisa dibilang aku satu-satunya perempuan ‘baik’ yang berteman dengan mereka, karena aku bisa lebih toleran dan terbuka menerima keadaan mereka ketimbang anak-anak perempuan kebanyakan yang cenderung kolot (jika tidak suka ya tidak suka). Sifat toleran yang kumiliki tentu saja kudapatkan ketika aku bermain dengan kelompok main anak laki-laki.

Walau bisa membaur dengan mereka, aku bersyukur tidak ikut-ikutan menjadi seperti mereka. Aku tidak melakukan kenakalan-kenakalan yang biasa mereka lakukan. Mereka cukup tahu aku tidak ingin melakukannya dan mereka juga tidak berani mengajakku demikian (karena nenekku orangnya galak dan mereka takut sama nenekku, hihi). Sekali lagi aku bersyukur, sebab meskipun lingkungan masyarakatku kurang sehat, mereka masih memegang ajaran-ajaran agama, yang dari sana aku memahami bahwa yang dilakukan teman-temanku itu bukanlah perbuatan yang baik. Walau begitu aku tidak lantas menceramahi mereka ini itu, menjudge mereka pendosa bla bla bla seperti yang dilakukan anak-anak perempuan kebanyakan. Aku masih ingat, dulu ketika pulang sekolah aku pasti bermain dengan mereka (entah itu main kelereng, kasti, petak umpet, loncat-loncatan di dekat sungai, atau sekadar bersepeda berkeliling kampung mencari pohon kersen) aku selalu minta ijin pulang duluan jam setengah tiga. Alasannya karena aku harus bersiap-siap masuk TPQ jam tiga sore. Dari situ satu persatu dari mereka akhirnya tertarik dan ingin ikut pergi TPQ bersamaku tiap sore. Tentu ini lebih efektif daripada menjudge mereka bahwa kebiasaan mereka sehari-hari itu berdosa dan kalau berdosa bisa masuk neraka kalau nggak percaya tanya aja sama Pak Haji (eh bentar, kok mirip sama tokoh animasi di teve itu ya?).

Bisa berteman dengan mereka, bukan berarti tidak ada resiko yang kudapatkan. Karena beberapa kali aku terlihat bersama mereka, teman-teman perempuan pelan-pelan menjauhiku. Bahkan aku pernah menerima penolakan terang-terangan dari mereka. I’m not their community, haha.

Ketika mengingat itu semua, aku jadi paham mengapa diriku yang sekarang sangat humanis, toleran dengan apapun keadaan orang lain. Dalam overview kepribadian saat aku mengikuti tes MBTI kemarin dikatakan bahwa aku tipe orang yang berfokus pada manusia, memiliki visi yang lebih manusiawi tentang dunia dan aku ingin berperan dalam hal itu (widiih..bahasanya tinggi cah wkwk). Namun sisi buruknya, aku menjadi orang yang sangat subyektif dan cenderung emosional bahkan tempramental. Aku masih kesulitan mengevaluasi hal ini. 

Sekian. Aku nggak tahu mau nulis apa, hehe..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'