Does It Feel?
Ada masa di mana ketika lelah, untuk berkata bahwa sedang lelah saja tidak mampu.
Rabu, 10 April 2019
Hari ini aku masuk kerja shift pagi, mulai pukul setengah tujuh pagi sampai jam tiga sore. Tetapi karena hujan aku menunda pulang hingga sekitar jam empat mungkin. Hari ini berjalan seperti biasa saja sebenarnya, ada yang mengesalkan seperti mendadak harus jaga konter hp dan stan thaitea sekaligus, padahal aku berencana ingin jaga konter sambil mengerjakan transkrip wawancara yang kulakukan kemarin. Saking kesalnya aku menumpahkan dalam sebuah twit:
Hari ini aku masuk kerja shift pagi, mulai pukul setengah tujuh pagi sampai jam tiga sore. Tetapi karena hujan aku menunda pulang hingga sekitar jam empat mungkin. Hari ini berjalan seperti biasa saja sebenarnya, ada yang mengesalkan seperti mendadak harus jaga konter hp dan stan thaitea sekaligus, padahal aku berencana ingin jaga konter sambil mengerjakan transkrip wawancara yang kulakukan kemarin. Saking kesalnya aku menumpahkan dalam sebuah twit:
“Saya sedang badmood. Bolehkah saya tidak menjawab segala tanya yang ada? Kata teman saya lebih baik diam daripada marah soalnya.”
Ada juga yang menyenangkan seperti tiba-tiba berpapasan dengan teman yang lama tidak bertemu saat menyeberang jalan. Ada juga yang membuat semangat, seperti seorang mutual di Twitter yang sedang mengajak mendirikan suatu komunitas sosial yang menangani isu bullying, yang kami namai Indonesia Melawan Bullying. Silakan cari dan ikuti kami di Instagram dan Twitter dengan nama akun @melawanbullying.
Rupanya lumayan banyak yang kualami dalam setengah hari ini. Mengingat hari ini hari Rabu, aku agak mulai bersemangat karena besok, hari Kamis pagi aku berencana untuk pergi ke suatu puskesmas yang memiliki poli jiwa. Ya, aku benar-benar ingin melakukan konseling.
Semester kemarin aku pernah sekali melakukan konseling ke salah satu dosenku yang juga seorang psikolog, namun aku tidak mampu mengatur jadwalku untuk melakukannya secara teratur. Ada beberapa sebabnya, di antaranya aku sering kelelahan, atau kebanyakan waktu luangku adalah jam aktif kuliah, yang sudah pasti beliau harus mengajar di kelas. Pun aku tidak nyaman karena saat itu beliau mengajak konseling di ruang dosen. Sesi berjalan lancar, eh, dengan banyak tangisan yang mungkin membuatku ingin menghabiskan banyak tisu, hehe. Yang membuatku tidak nyaman bukan para dosen yang berjalan ke sana ke mari saat aku konseling. Bukan. Aku tidak mempermasalahkan itu karena aku yakin sebagai profesional mereka memahami apa yang sedang kujalani. Yang membuatku tidak nyaman adalah saat itu aku keluar ruangan dosen dengan mata masih sembab dan rona wajah yang kemerahan, langsung berhadapan dengan teman-teman mahasiswa yang sedang ramai di wifi corner fakultas. Ada banyak tatapan aneh dari mereka, yang mungkin juga disertai asumsi-asumsi. Apalagi momennya pas sekali, mendekati Pemira atau Pemilu Raya di kampus (saat itu aku ikut gabung KPU Fakultas), juga mendekati akhir semester yang barangkali banyak masalah berkaitan dengan tugas-tugas kuliah ataupun administrasi kampus. Aku merasa risih diperhatikan sedemikiannya. Mungkin ada semacam harapan, seharusnya sebagai mahasiswa Psikologi mereka tidak terpicu mencampuri hal yang bukan urusan mereka. Tetapi aku tahu, perihal kode etik psikologi, setiap mahasiswa Psikologi adalah pemula. Aku juga.
Untuk itu, aku ingin mencoba di tempat lain di luar kampus. Sampai aku mendengar ada salah satu puskesmas yang menyediakan layanan psikologis, aku bertekad berangkat ke sana. Aku ingat hari itu hari Jumat. Ternyata, layanan psikologis hanya dibuka hari Kamis dan terbatas untuk tiga klien per hari, karena psikolog yang tersedia hanya satu orang. Baiklah, akan kuusahakan untuk menyisihkan pagiku di hari Kamis.
Rencana di hari Kamis cukup membuatku untuk mempertahankan kondisiku. Setidaknya aku tidak marah-marah sembarangan saja itu sudah bagus. Tapi aku tidak bisa membohongi diri kalau sebenarnya aku sedang lelah, baik fisik ataupun mental. Kondisi yang bisa saja membuat emosiku “terpicu” sewaktu-waktu tanpa diduga.
Dan benar saja, aku terpicu oleh suatu hal kecil yang aku sendiri tidak menyangka hal seremeh itu bisa membuatku merasa berantakan.
Sehabis isya’, seorang teman meminjam helm untuk pergi keluar bersama pacarnya. Tiba-tiba aku merasa lapar, dan ingin titip dibelikan makan. Tapi mendengar dia bersama pacarnya, aku urung untuk titip. Aku merasa itu akan merepotkan, walau dia berkali-kali berkata tidak merepotkan sama sekali. Aku hanya menarik nafas, ah iya, aku sedang labil, tadi ingin apa sekarang bilang tidak. Akhirnya, aku tidak jadi titip dibelikan makan walau memang benar-benar lapar, dengan beralasan nanti aku akan beli sendiri. Walau sebenarnya aku tidak yakin akan keluar indekos untuk beli makan karena aku merasa benar-benar lemas.
Setelah dia pergi, teman sekamarku tiba-tiba berkata, “Kok aku pengen makan eskrim ya?” Mendengar itu aku merasa didatangi suatu harapan, mungkin aku bisa titip sesuatu kalau dia keluar. Di depan kos memang ada toko yang menjual eskrim. Dan kalau benar dia akan ke sana, mungkin aku akan titip dibelikan mie instan dan telor asin. Tenang, aku tidak sering makan mie instan kok, hanya sesekali saja kalau kondisi benar-benar darurat. Pertimbangannya, aku tidak ingin terlalu merepotkan dia untuk hanya membelikanku makanan saja, karena biasanya membeli makan itu menghabiskan waktu yang cukup lama, dari memesan makanan, menunggu makanan dibungkuskan. Belum lagi kalau menu yang dipesan ternyata stoknya habis dan harus memikirkan menu alternatif yang kadang bikin malas. Ya, aku tidak ingin sedemikian merepotkan orang.
Berkatalah aku, “Yaudah kamu beli eskrim, nanti aku sekalian nitip.” Melihatku pulang sore dan nada bicaraku yang lemah aku optimis dia akan menerima permintaaanku tanpa basa-basi. Lalu dia menjawab, “Nggaaaakk mauu...” Di situ entah kenapa aku langsung mendadak muram. Aku sangat sadar aku tiba-tiba sedih padahal aku juga tahu dia hanya bercanda. Rasa sedih itu membuat aku hampir tak mendengar kelanjutan jawabannya, “...aku nggak mau dititipin, kamu harus ikut keluar.”
Ya, biasanya aku memang membercandainya dengan kalimat itu, kalau dia seharian tidak beranjak sama sekali dari tempat tidurnya. Inginku mengajaknya berjalan keluar agar dia tidak berlama-lama untuk bermalas-malasan, walau sering ditolak. Aku tidak menyangka kalau akan dibalas begitu saat aku benar-benar sedang lelah.
Tidak menunggu waktu lama untuk semua pikiran dan perasaan negatif datang, yang seolah mengajak reuni. Aku merasakan sesak, wajah dan mataku memanas. Aku tidak lagi bisa memaksakan untuk tersenyum apalagi tertawa. Tidak ingin teman sekamarku merasa bersalah melihat keadaanku yang memburuk dengan drastis aku segera berbaring dan menghadap tembok, memunggunginya. Lalu aku mulai collapse. Aku mengira sepertinya aku memang tidak pantas mendapat bantuan. Aku merasa aku memang pantas ditolak oleh siapa saja. Harusnya aku bisa melakukan semua sendiri. Harusnya aku tidak berharap setiap orang mau mendengarku. Setiap orang pasti punya keperluannya sendiri dan repot dengan dirinya serta mustahil meluangkan waktu dan tenaganya hanya untuk membantuku saja. Aku memang pantas kecewa atas harapanku yang demikian. Keberadaanku mungkin memang tak pernah ada yang menginginkannya. Sangat wajar jika mungkin di setiap tempat aku merasa asing. Dan keberadaanku sepertinya memang tak pernah berguna untuk siapa saja. Untuk semua hal, harusnya aku memang mengandalkan diriku sendiri karena satu-satunya alasan keberadaanku adalah mempertahankan diriku sendiri.
Aku tahu, perilakuku yang mendadak memunggunginya sudah pasti membuat teman sekamarku khawatir kalau dia sedang salah bicara. Aku tahu. Hanya saja aku tidak ingin membuatnya merasa lebih buruk daripada itu. Saat dia keluar, dia bahkan masih memastikan, “Jadi nitip, Sil?”, tetapi kukuatkan diri untuk berkata “Tidak” sebiasa mungkin, agar tak menimbulkan kesan aku sedang marah. Selepas dia menutup pintu, aku tidak lagi mampu membendung tangis yang sedari tadi kutahan. Merutuki diri, mengapa aku bisa selemah ini.
Yang membaca bagian ini, mungkin akan mengatakan aku lebay dan sangat berlebih-lebihan. Tapi percayalah, di luar sana ada orang normal yang mungkin mengalami hal ini berkali-kali. A thing called depression. Sepertinya yang kualami ini masih belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang.
Cepat sekali rasanya aku mengingat betapa banyak hal yang tidak mampu kuselesaikan, hal yang kuinginkan tapi tidak tercapai, hal yang mungkin diharapkan orang kepadaku tapi aku mengecewakan. Betapa aku merasa banyak tuntutan yang harus kuselesaikan saat ini juga, tapi aku gampang sekali lelah padahal aku belum menyelesaikannya. Dasar payah, begitu saja aku tidak bisa, rutukku.
Di saat yang sama, aku tahu semua perkataan negatifku itu hanya dalam pikiranku saja. Aku tahu aku sudah berusaha. Aku sadar bahwa lelah itu wajar dan sudah saatnya aku beristirahat. Bahkan jika memang benar aku gagal, gagal itu bukan akhir segalanya, itu siklus yang wajar. Semua yang kupelajari tentang psikologi membuatku tahu bahwa tidak benar aku berpikir negatif sebanyak itu. Aku tahu. Tapi aku tidak mampu menahan diri untuk merasa serendah itu. Karena memang aku sedang kepayahan untuk melakukan perlawanan. Dan yang kubisa adalah membiarkan diriku menumpahkan semua isakan. Kapan lagi aku bisa mengijinkan diriku menangis kalau bukan sekarang?
Aku pernah mengumpulkan kepingan-kepingan pengalaman masa lalu yang mungkin bisa kujadikan data analisis diri tentang apa sebabnya aku menjadi diriku di hari ini. Sadar aku tidak sedang baik-baik saja, dan akan lebih tidak baik-baik saja jika aku melakukan analisis diri sendiri, karena bisa saja aku melakukan dugaan yang terlalu over/low. Dan memang tidak dibenarkan melakukan self-diagnosed, diagnosis harus dilakukan oleh tenaga profesional.
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” [QS. Al-‘Ankabuut: 43]
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” [QS. Al-‘Ankabuut: 43]
“Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.” [HR. Bukhari]
Di tengah isakan tangis aku membuka hp. Seorang perempuan yang beberapa kali curhat kepadaku tiba-tiba mengirim pesan. Terkadang aku memang meluangkan waktu untuk melakukan konseling sederhana via WhatsApp, dan perempuan ini salah satu konseliku. Pengalaman yang dialaminya cukup serius sehingga aku merasa perlu mendampinginya walau hanya via jaringan. Malam ini dia berkata ingin bercerita, yang secara spontan langsung kuijinkan padahal kondisiku sedang buruk. Untungnya, dia tidak melanjutkan chatnya, yang mungkin saja ceritanya akan membuatku terpicu lebih parah. Walau sebenarnya aku juga mengkhawatirkan keadaannya.
“Ingat, Sil, dirimu sedang lebih butuh perhatianmu,” bisikku dalam hati.
Dan juga malam itu grup WhatsApp komunitas Indonesia Melawan Bullying baru saja dibentuk, dan mulai diskusi pertama dan perkenalan. Aku meminta ijin kepada admin utamanya untuk tidak bergabung dalam forum malam itu karena sedang butuh istirahat. Setelah itu, aku berusaha menenangkan diri, walau beberapa kali terpicu kembali dan terisak lagi.
Aku tidak menyangkal jika cerita-cerita dari konseli yang kubantu, juga isu-isu bully juga yang lainnya yang sedang marak di media sosial juga berkontribusi memicu emosiku yang memang sering terguncang. Juga aktivitas-aktivitas yang tak kalah menguras energi. Terkadang, aku ingin sekali berhenti untuk beberapa waktu, mengistirahatkan diriku. Tetapi yaang kuingat, aku juga lebih mudah terpicu saat aku berlama-lama sendirian. Aku masih belum melihat solusi untuk ini.
Jam setengah sebelas malam, kukuatkan diri untuk keluar, membeli nasi goreng yang mangkal di depan indekos. Saat menunggu bapak penjualnya membuatkan nasi goreng, hampir saja aku kembali menangis di tempat.
Does it feel, feel like you never gon’ find nothing better?
(Charlie Puth – Does It Feel)
(Charlie Puth – Does It Feel)
Ya, aku berpikir, apakah aku akan selalu mengalami demikian, di saat ini dan seterusnya?
Besok aku harus berangkat ke sana!
Kamis, 11 April 2019
Setelah semalam menangis sebegitunya, aku merasa lelah hingga tertidur sehabis subuh. Alarm yang kusetel jam tujuh tidak juga mampu membangunkanku. Aku bangun hampir jam sembilan! Waktu itu aku ingat petugas puskesmas menyarankan untuk datang sebelum jam depalan, karena dikhawatirkan slot untuk konseling penuh. Artinya, saat ini aku tidak bisa pergi ke puskesmas.
Setelah semalam menangis sebegitunya, aku merasa lelah hingga tertidur sehabis subuh. Alarm yang kusetel jam tujuh tidak juga mampu membangunkanku. Aku bangun hampir jam sembilan! Waktu itu aku ingat petugas puskesmas menyarankan untuk datang sebelum jam depalan, karena dikhawatirkan slot untuk konseling penuh. Artinya, saat ini aku tidak bisa pergi ke puskesmas.
Tidak lagi berhasil. Aku kembali merutuki diri. Dasar payah.
Dan banyak hal lagi yang terjadi di hari ini yang mungkin sebenarnya biasa saja, tetapi suasana hati yang memang sedang buruk membuatku mudah badmood. Kusadari aku memang sedang tidak mampu mengendalikan emosi, maka lebih baik jika sementara waktu aku menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa memicu.
Dan sesekali masih bertanya, does it feel like I never gon’ find nothing better?
(Ditulis di hari Jumat, 12 April 2019, sore hari, sembari menunggu hujan reda agar bisa membeli makan hahaha. Saat aku merasa sudah lebih baik, dan yakin akan lebih baik setelah menulis ini, walau harus berhenti sejenak di tiap paragraf untuk meredam emosi. Aku perlu banyak bersabar menikmatinya. Terima kasih atas semua yang selalu menyayangi dan terus mendukung, baik dengan dukungan langsung maupun tidak langsung dalam doanya. Jazakumullah khairan, percayalah untuk kalian juga aku tetap bertahan. Dan kepada rekan-rekan Indonesia Melawan Bullying, semoga dilancarkan perjuangan kita. Mengerikan sekali membayangkan jika banyak sekali generasi muda negeri kita mengalami depresi akibat bullying.)
Komentar