Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Neraca

Aku bertanya-tanya. Jika benar bahwa sesosok diri adalah representasi dari sebuah neraca yang terdiri dari id, ego, dan superego, maka diri seperti apakah aku saat ini? Adakah aku sudah berhasil menjadi diri yang seimbang, atau masih berat sebelah pada satu sisi? Kalau belum seimbang, sisi manakah yang lebih dominan? Dan selama sisi tersebut mendominasi, lebih banyak mendatangkan keuntungan atau malah merugikan kah? Aku tak benar-benar yakin dalam diriku ini tentang mana yang id dan mana yang superego. Tapi jika diingat bahwa aku kerapkali kewalahan mengatasi rasa bersalah, aku menduga bahwa aku sedang dalam dominasi superego. Bisa jadi. Atau malah itu adalah id yang mengelabui diri yang bertindak seolah-olah itu dorongan superego. Ah, mulai lagi. Begitu banyak lamunan yang datang tiap kali aku tak berbuat apa-apa. Besar inginku menangkapnya satu per satu dan merapikannya, memenjarakannya dalam aksara-aksara lalu menyusunnya dalam arsip-arsip memori, tapi selalu saja gagal. Lamunan-

Trigger(ed)

Cinta. Aku penasaran, mengapa bisa segala hal berbau romansa tak pernah tuntas dalam tahap perkembangan manusia. Seolah ada saja cerita tak terduga tentangnya bahkan di setiap jenjang usia. Pernah dalam sebuah seminar, seorang pembicara menyatakan bahwa romansa orang lansia, dalam kasus di sebuah panti jompo, tak kalah rumit dan lebay dari percintaan remaja. Amboi. Adakah ini terkait dengan sesuatu yang menyertainya, yang selalu dianggap tabu itu—sex, yang pada dasarnya adalah kebutuhan dasar manusia? Kerasnya proses evolusi yang dijalani manusia membuat segala hal yang menyangkut upaya bertahan hidup dan melestarikan kelompok tak bisa lagi didapatkan dengan cara terang-terangan, semua harus melalui prosedur, yang menurutku bisa dibilang dengan menyelundupkan niat, tujuan, atau keinginan utama dengan perilaku-perilaku yang dapat diterima dalam kesepakatan bersama tertentu. Seleksi alam tidak lagi tentang yang paling kuat yang bertahan, tetapi yang paling manipulatiflah yang menang.

Pernah

Kita mungkin hanya berjarak 'pernah'. Sekarang pun. Saat kamu bertanya, apakah aku menyukaimu Kujawab sesuai yang dapat terbaca dari diriku 'Ya', kataku Tapi aku luput jika di depan kata 'ya' tertulis 'pernah' yang begitu kecil dan hampir tak terbaca Beberapa bulan kemudian, akibat kata 'ya' itu, aku yang bangsat ini menyia-nyiakan waktu berhargamu Hahaha, jangan sungkan-sungkan kalau mau misuhin aku Kadang aku ingin bertanya. Ah, bukan kadang. Selalu. Aku ingin bertanya kepadamu dan juga kepada semua yang berkata menyukaiku atau mendekat kepadaku Apa bagusnya aku? Apa menariknya aku? Sialnya, aku terlalu pecundang untuk berani bertanya begitu Aku ingin berkata bahwa caramu mengalihkan situasi dari aku mempertanyakan itu telah mempecundangiku. Tapi tidak, memang akunya yang pecundang. Apa itu penting? Oh ya tentu saja penting Sebab jika aku tak bisa merasa cukup, bagaimana aku bertahan? Ah, tapi itu sudah lalu Dan aku sedikit diru