Pernah

Kita mungkin hanya berjarak 'pernah'. Sekarang pun.

Saat kamu bertanya, apakah aku menyukaimu
Kujawab sesuai yang dapat terbaca dari diriku
'Ya', kataku
Tapi aku luput jika di depan kata 'ya' tertulis 'pernah' yang begitu kecil dan hampir tak terbaca

Beberapa bulan kemudian, akibat kata 'ya' itu, aku yang bangsat ini menyia-nyiakan waktu berhargamu
Hahaha, jangan sungkan-sungkan kalau mau misuhin aku

Kadang aku ingin bertanya. Ah, bukan kadang. Selalu.
Aku ingin bertanya kepadamu dan juga kepada semua yang berkata menyukaiku atau mendekat kepadaku
Apa bagusnya aku? Apa menariknya aku?

Sialnya, aku terlalu pecundang untuk berani bertanya begitu

Aku ingin berkata bahwa caramu mengalihkan situasi dari aku mempertanyakan itu telah mempecundangiku. Tapi tidak, memang akunya yang pecundang.

Apa itu penting?
Oh ya tentu saja penting
Sebab jika aku tak bisa merasa cukup, bagaimana aku bertahan?

Ah, tapi itu sudah lalu

Dan aku sedikit dirundung sesal
Entah sesal yang mana
Melepaskan orang sepertimu
Atau membuatmu merasa sia-sia, dan mungkin juga berharap

Tapi sepertinya yang kedua
Sebab sejatinya, aku tak pernah merasa bersalah

Orang sebaikmu tak seharusnya disia-siakan bangsat sepertiku

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'