Neraca
Aku bertanya-tanya. Jika benar bahwa sesosok diri adalah representasi dari sebuah neraca yang terdiri dari id, ego, dan superego, maka diri seperti apakah aku saat ini? Adakah aku sudah berhasil menjadi diri yang seimbang, atau masih berat sebelah pada satu sisi? Kalau belum seimbang, sisi manakah yang lebih dominan? Dan selama sisi tersebut mendominasi, lebih banyak mendatangkan keuntungan atau malah merugikan kah?
Aku tak benar-benar yakin dalam diriku ini tentang mana yang id dan mana yang superego. Tapi jika diingat bahwa aku kerapkali kewalahan mengatasi rasa bersalah, aku menduga bahwa aku sedang dalam dominasi superego. Bisa jadi. Atau malah itu adalah id yang mengelabui diri yang bertindak seolah-olah itu dorongan superego.
Ah, mulai lagi.
Begitu banyak lamunan yang datang tiap kali aku tak berbuat apa-apa. Besar inginku menangkapnya satu per satu dan merapikannya, memenjarakannya dalam aksara-aksara lalu menyusunnya dalam arsip-arsip memori, tapi selalu saja gagal. Lamunan-lamunan itu seringkali menghilang pergi secepat caranya datang yang selalu tiba-tiba. Kadang, aku merasa bahwa keberadaan tubuh fisikku ini tak lebih dari sekadar gubuk tua di tepi jalan yang dijadikan tempat persinggahan singkat oleh ide-ide yang tidak jelas itu.
Jam segini, aku lapar. Untung aku yang tak pernah menetapkan diet khusus atau yang semacam, mudah saja aku membawa diriku untuk mulai melangkahkan kaki bergerak menuju pemuasan dorongan primitif itu. Seperti itu biasanya. Namun akhir-akhir ini aku jarang berselera untuk makan. Seperti bukan diriku saja rasanya, karena biasanya aku tak pernah mengaitkan tentang selera makan dan kebutuhan untuk makan. Aku selalu mendorong diriku untuk tetap makan secara teratur dan mengabaikan soal selera, sebab bagaimanapun keadaannya, makan adalah penunjang utama selama aku masih hidup. Lagipun aku bukan seorang picky eater, maka dapat dipastikan bahwa absennya selera makan ini bukan karena tentang menu makanan yang tersedia.
Ah, adakah suasana hatiku sedang buruk?
Walau sangat enggan akhirnya aku berhasil membuat tanganku meraih piring, dan dari tahap pertama ini, tahap-tahap selanjutnya mau tidak mau harus kutuntaskan. Aku berhasil membuat diriku makan.
Di setiap suapan itulah aku memikirkan tentang mana yang sedang mendominasi dalam diriku, id kah atau superego kah? Sebab semakin lama manusia hidup, semakin keduanya bertambah cerdik untuk saling mengelabui. Perilaku impulsif tak selalu mencerminkan id, begitupun rasa bersalah tak mesti merepresentasikan kerja superego.
Sebuah tebakan pernah dilontarkan dosen dalam kelas Deteksi Dini Hambatan Perkembangan Anak dan Remaja, atau singkatnya sering disebut DDHP saja.
"Dalam sebuah kelas TK, sang guru menyuruh muridnya untuk duduk tenang. Jika ada seorang anak berbuat ulah dan berlarian ke sana kemari, menurut kalian itu id atau superego?"
"Id!"
"Kenapa?"
"Karena dia tidak mampu mengendalikan keinginannya untuk bermain, padahal dia sedang ada dalam situasi yang menuntutnya untuk duduk tenang."
"Lalu kalau di sana ada anak lain yang memilih untuk duduk manis, apakah berarti itu superego?"
"Ya," hampir sekelas menjawab serempak. Tapi terdengar beberapa suara bergetar. Aku sendiri ragu, menahan diri untuk menjawab. Bukan berarti aku benar-benar tidak tahu jawabannya. Aku tahu, tapi masih ragu. Aku perlu waktu mencari argumen penguat mengapa aku memilih jawabanku sekarang, karena aku tahu beberapa orang di sekitarku mulai meragukan jawaban mereka sendiri.
"Benarkah itu superego?" Sanggah beliau.
Lihat. Dari cara beliau menyanggah saja terasa ada yang janggal.
"Ya."
"Itu adalah id." Aku memutuskan melepas suara selang sedetik setelah jawaban mereka. Waktu yang tepat untuk gelobang suara itu untuk sampai pada pendengar yang kuinginkan, pikirku. Detik berikutnya kusadari suaraku amat pelan. Sial, sampai saat ini pun aku masih belum menguasai betul cara mengontrol nada dan intonasi yang tepat ketika bicara. Sudah dua puluh tahun lebih usiaku, mau sampai kapan begitu?
Tapi untungnya aku memilih bangku paling depan, di sisi paling dekat dengan meja dosen. Adalah kebiasaanku ketika memasuki kelas-kelas tertentu, terutama pada semua matakuliah konsentrasi yang kuambil, peminatan Psikologi Perkembangan. Rupanya, beliau mendengar responku.
"Bagaimana, Mbak?"
"Itu adalah id." Aku mengulang perkataanku.
"Mengapa demikian? Kan dia mematuhi perintah guru untuk duduk tenang."
"Karena mungkin saja dia melakukan itu didorong oleh rasa takut kepada gurunya. Bukan karena kesadaran untuk patuh pada aturan, tetapi karena mencari aman agar tidak mendapat hukuman."
...dan biasanya, ada dorongan ingin menunjukkan diri, agar dianggap lebih baik daripada yang tidak mengikuti aturan. Pada variasi lain mungkin saja diikuti dengan mengadukan teman-temannya yang tidak patuh dan mengganggu. Dorongan superioritas. Sudah tentu ini id.
"Benar. Dua perilaku yang tampaknya berbeda itu bisa jadi didorong oleh hal yang sama. Lagian mereka ini masih TK loh, masak anak TK udah bisa mengendalikan id-nya? Kalian lupa kalau anak di masa kanak-kanak itu sangat menonjol egosentrismenya? Kalian jangan gegabah menilai tanda-tanda seperti itu."
Bisa dibilang aku cukup menonjol untuk memahami bagian seperti ini, sesederhana ketika kamu memahami apa itu logical fallacy. Tapi tetap saja nilai akademikku lemah dari yang lain. Mengingat lagi kalau skripsiku belum tuntas hingga hari ini. Huft.
Sudah cukup lama sejak suapan nasi yang terakhir, aku berdiam menyelesaikan gulungan ingatan yang diputar tadi. Yah, tak bisa serampangan mengidentifikasi mana id dan mana superego, apalagi pada diri yang bukan lagi anak-anak. Sambil berjalan membawa piring bekasku ke tempat cuci, aku bergumam. Jangan-jangan ketidak seimbangan antara id dan superego terjadi karena ego tak berhasil memahami letak keduanya?
Bojonegoro, 30 Mei 2020, 23.25 WIB.
Komentar