Trigger(ed)
Cinta. Aku penasaran, mengapa bisa segala hal berbau romansa tak pernah tuntas dalam tahap perkembangan manusia. Seolah ada saja cerita tak terduga tentangnya bahkan di setiap jenjang usia. Pernah dalam sebuah seminar, seorang pembicara menyatakan bahwa romansa orang lansia, dalam kasus di sebuah panti jompo, tak kalah rumit dan lebay dari percintaan remaja. Amboi.
Adakah ini terkait dengan sesuatu yang menyertainya, yang selalu dianggap tabu itu—sex, yang pada dasarnya adalah kebutuhan dasar manusia?
Kerasnya proses evolusi yang dijalani manusia membuat segala hal yang menyangkut upaya bertahan hidup dan melestarikan kelompok tak bisa lagi didapatkan dengan cara terang-terangan, semua harus melalui prosedur, yang menurutku bisa dibilang dengan menyelundupkan niat, tujuan, atau keinginan utama dengan perilaku-perilaku yang dapat diterima dalam kesepakatan bersama tertentu. Seleksi alam tidak lagi tentang yang paling kuat yang bertahan, tetapi yang paling manipulatiflah yang menang.
Kusebut manusia malah memperumit sendiri cara bertahan hidupnya.
Aahhh, aku tidak...em, maksudku belum belum tahu banyak tentang itu. Setidaknya aku perlu menamatkan buku best seller Sapiens karangan Yuval Noah Harari itu, untuk setidaknya memahami ada apa dengan kehidupan manusia. Itu saja masih belum menjamin bahwa aku akan mengerti setelahnya.
Ex Philosophia Claritas, jargon sebuah komunitas filsafat yang beberapa waktu terakhir ini kuikuti dengan tidak disiplin. Kira-kira berarti "dengan berfilsafat muncullah kejernihan berpikir". Sekelebat ingatan datang, seorang pembicara di kelas menyanggahnya. Benarkah berfilsafat mengantar pikiran makin jernih, atau jangan-jangan malah makin rumit? Dan memang, semakin banyak pertanyaan yang muncul, makin bertambah pula kecemasan-kecemasan. Jujur kukatakan demikian.
Atau jangan-jangan aku yang masih malas?
Dari setiap pengalaman yang kukumpulkan, aku menarik kesimpulan sementara: Kita yakin bahwa setiap kesulitan yang kita temui adalah sebab kita sedikit tahu tentang hal tersebut. Hal itu mendorong kita untuk mencari tahu lebih banyak tentangnya. Yang kita tak tahu saat kita tak tahu, bahwa mengetahui lebih banyak juga berisiko. Ketika pengetahuan bertambah, kita menyadari bahwa ada hal lain juga yang masih tidak diketahui. Kita terdorong mencari tahu lagi, dan mengetahui ketidak tahuan yang lain lagi, mencari tahu lagi, begitu seterusnya. Adalah baik jika disebut sebagai progres belajar, tapi bagaimana dengan kecemasan yang menyertainya?
Aahhh, aku jadi lelah hanya karena sekelebat terpikirkan hal itu. Kemampuan berpikirku masih jauh dan sangat lemah. Hanya karena terpantik kata romansa saja aku jadi bergerak setidak jelas itu.
Romansa. Ah, malesin sekali. Aku tak banyak pengalaman tentangnya, hanya beberapa kali bersinggungan dengannya yang kebetulannya semua bukan pengalaman yang menyenangkan. Kupikir itu hanya perbuatan yang sia-sia saja.
Aku pernah jatuh cinta. Pernah patah hati juga. Tak banyak. Hanya pernah saja. Dari semua jenis cerita romansa yang pernah kudapatkan, lewat buku, film, atau cerita orang-orang, kupikir cinta itu tentang keberuntungan saja. Sesuatu yang lepas dari kehendak. Jadi sia-sia saja jika mengupayakannya dengan keras.
Yah, aku memang agak tidak acuh tentangnya.
Mengapa? Karena pada suatu saat, aku bisa saja jatuh cinta, lalu patah hati beberapa waktu kemudian, lalu bisa jadi jatuh cinta lagi, patah hati lagi. Aku, dan mungkin kita, dikelilingi peluang untuk mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, yang sialnya itupun diluar kendali kita. Makanya, menjadi sangat antusias tentangnya hanyalah sia-saja.
Walau begitu, saat ini aku punya kekasih, sebutlah begitu. Sesuatu yang amat mendadak bagiku sebetulnya. Aku masih tak habis pikir kenapa saat itu aku menerimanya. Kau tahu, aku amat mudah berubah pikiran dan juga mudah melupakan pikiranku sendiri.
Atas kesadaran itu, aku mencoba menulis lagi. Untuk kembali mengenali pikiranku. Syukur-syukur mampu mengendalikannya agar lebih teratur dari saat ini.
Aih, mengapa terasa merepotkan sekali hidup ini?
Aku tak banyak berhubungan dengan dia—kekasihku maksudnya. Tak ada apa-apa sebetulnya. Yah, secara harfiah memang tak ada apa-apa. Awalnya aku hanya menyapanya sebagai teman lama, beberapa bulan lalu. Siapa sangka itu mendorongnya untuk mengajakku menjalin hubungan?
Biar berlalu sudah. Walau aku tak yakin apa yang kupertimbangkan saat aku menerimanya saat itu, intuisiku berkata semua akan berjalan baik-baik saja. Aku cukup percaya dengan intuisiku. Kalaupun tidak, ya begitulah cerita cinta. Tak perlu dianggap sebagai suatu tekanan, bukan?
Namun mungkin, walau aku tampak—atau lebih tepatnya menampakkan—sikap tidak acuh pada hal-hal berbau romansa, aku menyadari baru-baru ini bahwa aku agak mencemaskannya. Terlebih ketika ingatan lama yang tidak menyenangkan itu terpantik.
Malam ini dia mengirim pesan WhatsApp. Entah mengapa aku enggan segera membalasnya. Ah, bukan karena dia yang mengirim pesan, tapi memang beberapa waktu terakhir aku malas berinteraksi lewat aplikasi perpesanan itu. Beberapa teman bahkan sampai mengira aku sedang repot hanya karena aku tak pernah memperbarui status, padahal tidak begitu. Ah biarlah.
Aku lantas keluar dari rumah, dan secara refleks mendongakkan kepala. Mataku tak pernah tidak terpikat dengan hamparan langit yang dalam gelapnya selalu memukau itu. Cukup cerah, gumamku. Kupandangi bintang-bintang yang bertebaran di sana. Jika saja aku dapat memandang langit malam di daerah yang tinggi, seperti Cangar atau Paralayang, kuyakin pendar-pendar cahaya itu akan lebih rapat, lebih banyak, dan lebih memukau dari yang dapat kupandang malam ini. Aku rindu pemandangan ajaib itu.
'Coba lihat ke langit deh, Dek. Bintangnya bagus :p'
Ah sial, mengapa potongan ingatan itu harus muncul saat ini bahkan setelah lebih dari lima tahun lamanya. Tak pernah dia muncul sebelum ini. Apakah aku ter-trigger oleh pesan kekasihku beberapa menit yang lalu?
Lima tahun yang lalu, ya? Masih SMK aku saat itu. Saat itu kupikir aku akan memulai kisah cintaku yang pertama. Saat itu jenis komunikasi masih sangat terbatas, hanya SMS dan telepon. Aku lebih banyak menggunakan SMS.
Apa ya, waktu itu aku menanyakan sesuatu kepadanya, aku lupa apa tepatnya yang kutanyakan. Dan entah mengapa dia enggan menjawab langsung, dan malah mengalihkan pembicaraan ke hal yang tidak berkaitan dan tidak penting sama sekali.
Mengapa menjawab pertanyaan begitu saja sulit? Apa yang membuatnya sulit coba? Bukankah semua hal malah akan menjadi rumit jika dialih-alihkan ke hal lain? Memangnya pertanyaanku menyinggung sesuatu yang tabu atau bagaimana?
Atau, apa sih yang membuatnya enggan, adakah itu bersinggungan dengan egonya, sampai begitu sulitnya?
Aku tak pernah tahu apa tepatnya hal-hal yang enggan dibicarakan oleh para laki-laki secara terbuka, dan mengapa mereka enggan membicarakannya. Tapi tiap kali lawan bicaraku mengalihkan pembicaraan begitu, hal itu membuatku merasa disepelekan. Sebut aku ngambekan, terserah saja. Aku hanya merasa dia menyia-nyiakan atensi dan waktu yang kuluangkan padanya. Aku selalu punya banyak hal yang ingin kulakukan segera, dan rasanya aku menyesal malah membuang waktu percuma meladeninya.
Sejak berakhirnya hubungan pertamaku itu, aku tak pernah menjalin hubungan lagi. Padahal kalau mau, dunia kampus menawarkan lebih banyak kesempatan yang lebih baik dari sebelumnya. Tapi sepertinya hal itu hanya merepotkan saja, pikirku. Aku malas setiap aku mendapati laki-laki menaruh ketertarikan padaku. Malas sekali jika terus-menerus mengulang interaksi basa-basi yang tidak memuaskanku, mengulang kesia-siaan lagi dan lagi.
Hal itu tidak lantas membuatku melabeli kaum laki-laki sebagai orang-orang yang tidak jelas. Perempuan pun sama tidak jelasnya. Banyak opini yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang sulit dimengerti. Padahal mereka sama saja, sebagai sesama manusia, yang sama sulit dimengertinya. Evolusi beribu-ribu tahun telah membentuk mereka untuk cenderung bergerak serumit itu. Begitu, kan? Membosankan dan merepotkan betul.
Beberapa kali aku berpikir aku jadi malas hidup jadi manusia. Tapi repotnya, manusia menetapkan larangan mengakhiri hidupnya sendiri. Hidup segan, matipun dilarang. Ah, mengapa dulu aku tidak dilahirkan jadi kucing rumahan yang memiliki majikan yang penyayang saja?
Apakah aku sedang putus asa?
...
Bojonegoro, 29 Mei 2020.
Komentar