Menjadi Seolah Batu
Sekitar sepekan yang lalu himpunan yang saya ikuti, Himabo
UM (Himpunan Mahasiswa Bojonegoro Universitas Negeri Malang) mengadakan rapat
perdana di kampus setelah selama tiga bulan liburan berapat di Bojonegoro.
Rapat kali ini membahas tentang proker yang akan dilaksanakan, Himabo Futsal
Competition antar SMA se-Karesidenan Bojonegoro. Awalnya saya sempat shock ketika mengetahui bahwa saya
dimasukkan ke dalam sie keamanan. Bagaimana tidak? Untuk even besar seperti futsal competition sudah pasti sie
keamanan menjadi sie yang anggotanya sibuk dan selalu dibutuhkan di sepanjang
even, selain sie acara tentunya. Jika saya masuk di sie keamanan berarti mau
tidak mau saya harus hadir di acara itu alias saya harus pulang kampung, ke
Bojonegoro. Sedangkan selama ini saya tidak pernah menganggarkan pengeluaran
keuangan untuk pulkam selain saat liburan semester atau hari raya.
“Ayolah Mbak, ikut. Pake uangku dulu nggak papa,” kata Pipit
yang duduk di sebelah saya, saat saya mengatakan kemungkinan bahwa saya tidak
bisa hadir di HFC nanti.
“Enggak lah Dek, aku nggak mau ngutang. Nggak tau kan nanti
aku bisa bayar atau enggak.”
“Yah Mbak. Atau nanti pulang bareng anak-anak aja, mesti
nanti banyak yang pulang bareng motoran. Nanti Mbak nebeng aja salah satu dari
mereka.”
“Hehe, tapi aku nggak punya helm Dek.”
“Hadeh Mbak.”
Sebenarnya yang menjadi masalah bukan karena saya tidak
punya helm, karena saya mempunyai teman yang saya bisa meminjam helmnya kapan
saja. Tapi masalahnya lebih kepada si pengendara motornya. Saya yakin yang
pulang motoran sudah pasti kebanyakan teman-teman laki-laki, kalau pun ada yang
perempuan mereka pasti bukan sebagai pengendara motor melainkan yang duduk manis
di belakang. Padahal saat ini saya sedang berusaha untuk menghindari berkhalwat
dengan lawan jenis. Lagi pun apa kata mak saya nanti kalau tahu saya boncengan
sama laki-laki dari Malang sampai Bojonegoro? Dulu saya memang pernah nebeng
motoran saat pulang kampung, tapi saat itu kebetulan yang bawa motor teman
perempuan saya dan dia minta ditemani untuk naik motor. Sekarang sepertinya dia
sudah tidak mau lagi pulang kampung motoran, kecuali kalau nebeng.
“Wes Mbak, nanti kita carikan helm. Tapi Mbak ikut HFC ya?”
ujar Pipit yang masih berusaha merayu saya untuk ikut HFC.
“Entahlah Dek, lihat nanti dah. Dan sebenarnya aku masih
nggak paham kenapa anak-anak masukin aku di sie keamanan, padahal kan mukaku
nggak ada garang-garangnya.”
“Ya nggak papa to
Mbak. Nanti Mbak jadi yang ngawasin suporter, sama Mbak Uswa, Mbak Lutfiarin,
Niswa, pokok yang kerudungnya besar-besar nanti ditaruh di tengah-tengah
suporter.”
“Ngawasin biar nggak ada yang ricuh gitu?”
“Nah itu. Kan mereka yang mau tawuran jadi sungkan kalau
lihat mbak-mbak syar’i.”
“Lah Dek, nanti bukannya nonton futsal tapi malah jadi
pengajian.”
Grrr..
Rapat dimulai. Masing-masing koordinator sie melaporkan
perkembangan kerja sienya juga kendala-kendala yang belum dapat teratasi.
Koordinator sie konsumsi, Fitri, yang duduk di sebelah kanan saya berbisik
kepada saya, “Aku loh nggak tau harus laporan apa.”
“Loh, lha dulu pas pembagian jobdesk gimana?”
“Aku waktu itu di Malang, nggak ikut rapat. Grup sieku juga
sepi-sepi aja.”
“Yawes nggak papa nanti waktu giliranmu tanyain aja lagi ke
ketupel.”
Tiba giliran sie konsumsi Fitri meminta untuk dibacakan
kembali jobdesk sienya, yang
diantaranya membuat anggaran konsumsi untuk tamu undangan saat pembukaan dan
penutupan, konsumsi untuk panitia dan peserta juga pengisi acara selama even berlangsung,
juga perincian-perinciannya.
“Nanti untuk tamu undangan sama panitia anggarkan makanan berat
ya. Eh sama wasitnya juga. Nanti makanan beratnya kita pesan di Tian
Catering,” kata Mas Wahyu, Ketum Himabo. Nada bicaranya agak ditekankan ketika
menyebut “Tian Catering”.
“Mana itu Mas?”
“Itu usaha kateringnya Mas Tian, domisioner Himabo angkatan
2012,” jawab Mas Wahyu sambil menyebutkan alamat rumah Mas Tian, saya lupa di
mana.
Oh, jadi Mas Tian punya usaha katering ya? Batin saya.
Mas Tian ini, adalah senior di Himabo yang beberapa waktu
lalu sempat dekat dengan saya. Namun saya sudah mengakhirinya sejak lebaran kemarin,
saat saya bertekad untuk menghindari khalwat dan ikhtilat, yang saya jadikan
sebagai resolusi Ramadhan saya tahun ini. Walau agak berat rasanya saat itu,
namun saya berusaha menyabarkan diri saya bahwa yang saya lakukan ini demi
meraih ridha Allah swt. Mohon doanya, semoga Allah sabarkan dan kuatkan saya
serta menerima perbuatan saya ini. Aamiin.
Tapi yang saya herankan adalah ketika Mas Wahyu seolah-olah
dengan sengaja menekankan kata “Tian Catering”. Awalnya saya pikir itu biasa
saja, agar semua orang di sana mendengarnya dengan jelas dan mengingatnya.
Namun anehnya saat itu Mas Wahyu mengatakan itu dengan agak melirik kepada saya,
juga saat menyebutkan alamat rumahnya. Seolah ia ingin melihat bagaimana reaksi
saya saat namanya disebut.
Bagaimana reaksi saya? Biasa saja. Saya rasa tidak ada yang
aneh, sebab menurut saya sudah tidak ada lagi apa-apa. Semua sudah saya akhiri. Yang
pasti saya masih menghormatinya sebagai sesepuh di Himabo (sesepuh?). Dan saya merasa
ada raut kekecewaan di wajah Mas Wahyu, sebab ia tidak menemukan apa yang dia
cari dari saya. Walaupun saya tidak tahu pasti apa yang sedang dia cari.
Sempat saya menduga, jangan-jangan Mas Wahyu mengetahui apa
yang terjadi antara saya dan Mas Tian beberapa waktu lalu? Lalu dengan sengaja
memasukkan saya di sie keamanan, agar mau tidak mau saya harus hadir? Ah, sudah lama sekali saya tidak menyukai aktivitas menduga-duga, sebab imajinasi saya
bisa berkeliaran sampai ke mana-mana. Eh tapi, bagaimana jika itu benar? Mas
Wahyu kan ketum, sudah pasti sering berinteraksi dengan para demisioner. Atau jangan-jangan
selama ini saya sempat jadi bahan “rasan-rasan”
di kalangan demisioner gara-gara kedekatan saya dengan Mas Tian beberapa waktu
lalu? Kan anak-anak Himabo biasanya suka rasan-rasan?
Lalu bagaimana jika, isu tersebut terbawa sampai ke pengurus
Himabo saat ini?
Duh, pede sekali saya, sampai mengira saya jadi bahan rasan-rasan mereka. Memangnya siapa
saya? Ini pasti gara-gara kegagalan saya mengendalikan imajinasi saya, mungkin
karena saya tadi belum makan siang, dan sekarang sudah pukul 8 malam. Duh Gusti, nyuwun ngapuro..
Apakah saya jadi bahan rasan-rasan
mereka atau tidak, itu bukan masalah bagi saya kan? Memangnya mengapa saya
harus merisaukannya, bukankah sekarang sudah tak ada apa-apa antara saya dengannya?
Urusan saya kini cukup dengan Allah swt saja.
Dan tentang bagaimana jika isu itu terbawa sampai ke
pengurus Himabo periode saat ini, lalu mengapa? Paling-paling mereka hanya akan
“cie-ciee” aja kan? Itu bukan apa-apa, yang perlu saya lakukan adalah cukup diam,
seperti batu.
Sumber: konseling.bpkpenaburjakarta.or.id |
Dalam situasi ini saya suka menggunakan analogi seperti batu.
Batu besar lebih tepatnya. Akan percuma sekali jika orang berusaha menendang,
memukul, membakarnya atau melemparinya dengan batu-batu kecil. Batu besar akan
tetap diam di tempat, walau mungkin akan terdapat goresan di sana sini. Begitu
pula yang biasa terjadi pada bullying yang
bersifat “verbal”, biasanya si pelaku akan mendapatkan kesenangan jika
si korban memperlihatkan ketidaksukaannya/ketidaknyamanannya, yang membuat si pelaku ingin kembali
mengulangi perbuatannya kepada si korban. Namun jika si korban mampu menahan diri
untuk tidak bereaksi terhadap perlakuan tersebut, bisa jadi lama-kelamaan si
pelaku akan merasa kesal, jenuh, lelah, yang pada akhirnya menghentikan perbuatannya.
Apa sulitnya diam, jika dengan diam si korban tidak perlu membuang tenaga, malah
dapat menghentikan bully tanpa harus
bersusah payah?
Mungkin karena saya terlalu pendiam, jadi lebih menyukai
analogi seperti ini. Mungkin itu pula yang menjadi penyebab orang-orang di
sekitar saya jadi kesal duluan bahkan sebelum “mengerjai” saya.
Jadi, apa pun alasan mengapa saya dimasukkan ke dalam sie
keamanan, saya tidak ingin lagi mempertanyakannya. Jika memang benar terdapat
sebuah “keisengan” di dalamnya, saya tidak ingin peduli. Bukan masalah. Tentang
bagaimana keadaan hati saya nanti bila saya bertemu dengan Mas Tian, saya
serahkan sepenuhnya kepada Allah swt. Saya yakin Allah tidak akan lupa untuk
membersamai saya. Lagi pula kini tidak ada lagi alasan untuk galau tentangnya,
bukankah Allah telah memberi banyak tanda kepada saya bahwa dia bukanlah orang
yang tepat untuk saya, begitu pun saya untuknya.
Dan yang pasti sekarang saya ingin segera menyelesaikan
rapat ini sebab saya merasa lapar.
***
Mungkin saya terlihat agak tidak waras ketika saya memunculkan berbagai pertanyaan/kekhawatiran lalu menjawabnya sendiri. Namun sebenarnya yang sedang saya coba lakukan adalah menentang pikiran pesimistis, yang selengkapnya bisa dilihat di Meningkatkan Optimisme Dengan Menentang Pikiran Pesimistis. Selamat membaca.
Komentar