Detik-Detik

Masih belum jam 7 tepat, serangkaian acara Mubes (Musyawarah Besar) Pengurus Himabo UM 2017 masih akan dimulai beberapa menit lagi. Aku dan beberapa orang lainnya di Aula Kecamatan Klojen ini mengisi waktu yang tersisa untuk sekadar berfoto mengabadikan momen hari ini. Dalam hati aku merasa bahagia melihat mereka, mereka begitu ceria pagi ini. Mungkin ini kali terakhir aku bisa bersama-sama mereka dengan status sebagai anggota pengurus, karena beberapa waktu ke depan aku, dan juga rekan seangkatanku, akan melepas kepengurusan dan tergabung menjadi anggota DPO, Dewan Pertimbangan Organisasi. Masih bukan demisioner, walau setelah ini kami tidak lagi aktif sebagaimana anggota pengurus. Kecuali satu orang di angkatanku yang akan terpilih bertahan di kepengurusan, menjabat sebagai Ketua Umum yang baru.

Mas Wahyu, Ketua Umum Himabo UM 2016/2017, terlihat melamun menatap ke luar jendela. Ini kali kedua aku melihat Mas Wahyu berwajah cemberut dan menyendiri di tengah forum, setelah yang pertama dulu ketika awal-awal dia terpilih menjadi Ketum. Biasanya dia selalu riang dan kembanyolannya (kejenakaannya) selalu menjadi salah satu penyebab suasana pecah. Mungkin karena ini menjelang proker terakhir, kali ini dia sedang merenung tentang apa saja yang telah dilakukannya untuk Himabo UM selama satu periode kepengurusannya. Sebelumnya aku ingin sedikit bercerita tentangnya. Dia dulunya adalah ketuaku di Divisi Bakat Minat saat aku masih maba. Satu tahun setelahnya dia terpilih sebagai Ketua Umum Himabo UM yang ke-7, bersamaan dengan dipindahkannya aku di Divisi Sosial Masyarakat. Uniknya Ketum ke-7 ini adalah juga penyuka angka 7, sama sepertiku. Dan seringkali setiap datang rapat aku dan Mas Wahyu berantem gara-gara berebut mengisi presensi di urutan ke-7. Begitupun kalau di grup WhatsApp sedang membuat list tertentu.

Aku mengambil karangan bunga dari kertas yang semalam kususun. Karangan bunga itu tergeletak di depan Mila dan Niswa, anak-anakku di Divisi Sosmas, setelah dipinjam beberapa anak untuk berfoto-foto.

“Lihat to Pak Ketum ngelamun. Aku mau godain Mas Wahyu dulu,” kataku pada mereka Mila dan Niswa. Mereka berdua hanya terkekeh mendengar kataku.

Aku berjalan menuju jendela, menghampiri Mas Wahyu. Lalu kusodorkan karangan bunga di tanganku ke hadapannya.

“Buat Mas Wahyu,” kataku singkat, sambil tersenyum.

For me? Really?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Aku mengangguk.

 “Punya siapa nu?”

“Punyaku lah, aku bikin sendiri semalam.”

“Buat apa i?”

“Ya nggak apa-apa sih, pengen aja bikin. Nih.”

Mas Wahyu menerima bungaku sambil tersenyum. “Thank you for your attention.

Hampir aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya berterima kasih. Selama ini dia dikenal sebagai ketua yang kurang, bahkan tidak pernah mengapresiasi kinerja para anggotanya, walau hanya sekadar ucapan terima kasih. Para anggotanya pun sering mengeluh karena mereka merasa lebih dihargai oleh para demisioner yang selalu memuji kinerja mereka di setiap proker daripada Pak Ketum sendiri. Bisa jadi ini adalah pertama kali aku mendengarnya berterima kasih. Dia selalu berdalih tidak ingin membuat para anggotanya cepat merasa puas dengan apresiasi, dan bentuk perhatian dan rasa sayangnya kepada para anggotanya adalah dengan mengingatkan mereka ketika mereka berbuat salah. Ya, begitulah gaya kepemimpinannya. But all over, selama dua tahun aku menjadi pengikutnya, dia adalah pemimpin yang sangat bertanggung jawab dan humble kepada setiap anggotanya.

Mungkin baginya terasa aneh, masak cowok nerima bunga? Tapi memang sudah sejak lama aku ingin memberikan sedikit apresiasiku pada Mas Wahyu, sebagai penghormatan dan rasa terima kasihku terhadapnya. Bukan tentang bunganya, tapi apa yang ingin aku sampaikan.

Dia mengamati bunga di dalamnya satu persatu, kemudian mendekatkan bunga itu ke hidungnya.

“Yaelah, Mas, ya mana ada wanginya? Kan itu cuma bunga kertas.” Di saat-saat seperti ini Mas Wahyu masih aja ngelucu, emang sepertinya dia nggak pernah nggak mbanyol. Rasanya pengen tepuk jidat.

“Entah kenapa, Sil, tiap aku lihat bunga rasanya selalu pengen naruh bunga itu di dekat hidung, meskipun aku tahu itu nggak wangi.”

“Ah terserah lah. Btw terima kasih ya, untuk dua tahunnya. Ya di luar kekecewaanku yang dulu karena sampean ngeluarin aku dari Bakmin dan mindahin aku ke Sosmas. Sampean terbaik,” kataku sambil mengacungkan dua jempolku padanya.

“Kamu sih, dulu nggak mau jadi Kadiv. Terus pas dipindahin ke Sosmas juga protes. Kan aku ya bingung to, Sil.”

“Ya kan sampean tahu gimana kinerjaku. Aku itu cengeng. Self-managementku juga nggak bagus. Aku takut kalau dikasih tanggung jawab aku malah nggak amanah, terus mutung (putus asa) dan ilang-ilangan di tengah jalan, terus anggotaku jadi berantakan gara-gara aku.”

“Harusnya kamu nggak perlu khawatir ilang-ilangan, itu loh nggak masalah sebenernya. Seilang-ilangannya kamu, kamu pasti akan kembali karena adanya tanggung jawabmu. Dan cinta yang akan membawamu pulang ke Himabo.”

“Hemm, iya juga sih.” Kami saling diam. Barangkali benar, aku yang terlalu pesimis dan mengecilkan kemampuan diriku. Aku penakut walau sebenarnya punya keinginan untuk berubah. Benar juga kata Mas Wahyu, aku dulu memang pernah mengecewakan dan sempat berusaha menghilang dari Himabo UM, tapi tak berapa lama kemudian aku pun kembali pada mereka dan menyelesaikan apa yang pernah kutinggalkan.

“Silmi nanti jadi Ketum ya?”

“Hah? Ya enggak lah, Mas. Masih banyak yang lain yang lebih baik. Abis ini aku mau pensiun aja.”

“Kamu loh mesti gitu. Jangan gitu to. Semuanya memiliki hak yang sama untuk dipilih jadi Ketum.”

“Tapi nggak semua yang memiliki hak itu mendapatkannya, cukup satu orang saja. Dan itu sudah pasti bukan aku.”

“Hei, Sil, dalam matematika peluang itu selalu ada.”

“Tapi loh, Mas, aku mah apa? Yaa..emang peluang itu ada, tapi aku hanya sedikit dari sekian yang ada.”

“Ayolah, Sil. Aku loh bingung, kenapa kalian kalau disuruh maju jadi Ketum pada nggak mau? Di angkatan kalian loh kayaknya kok kompak nggak ada yang punya ambisi buat itu. Masak kalian bener-bener nggak ada ambisi sama sekali buat ambil posisi? Di antara kalian itu setidaknya harus ada yang punya ambisi to, walaupun cuma sedikit.”

“Uhm, ya..gimana ya, Mas? Karena kita emang udah terlanjur nyaman dan lebih suka berjalan seperti ini. Kita loh udah merasa bahagia punya orang-orang yang bener-bener kayak keluarga sendiri, juga semua kebersamaan kita selama di Himabo. Kita juga nggak menetapkan suatu pencapaian pribadi di sini. Toh kita ngerasa itu semua udah cukup. Lalu untuk apa ambisi? Makanya nggak ada dari kita yang mau. Mas Wahyu aja loh menjabat lagi jadi Ketum, nanti aku sama Uswa mau ngajuin sampean jadi Ketum lagi,” kataku sambil tertawa.

“Kamu nggak kasian sama aku a Sil? Aku loh abis ini mau skripsi.”

“Mas, tak bilangin. Aku pernah ikut pelatihan manajemen stress. Katanya mahasiswa skripsi itu rentan stress karena salah satunya nggak punya teman, karena teman-teman sebayanya juga pada sibuk skripsi. Nah kalau sampean jadi Ketum lagi sampean nggak akan kesepian karena masih bersama banyak teman dari adek-adek tingkat,” candaku ke Mas Wahyu.

“Ya kebersamaan kalau ada tanggung jawabnya ya tetep aja stress, Sil,” sungutnya. Aku tidak bisa menahan tawa mendengar jawabannya. Ya mungkin Mas Wahyu tahu maksudku hanya bercanda, tapi mungkin sebal juga karena beberapa waktu belakangan selalu dibercandain kayak gitu sama beberapa anggotanya. Mungkin juga panik kalau ternyata benar-benar terpilih lagi, karena di AD/ART memang belum ada batasan masa jabatan Ketum. Apalagi di kepengurusannya banyak anggota maupun demisioner yang merasa kinerjanya baik dan menilai Himabo UM mengalami banyak sekali peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Sudah-sudah, Mas. Meskipun dari kita nggak ada yang mau maju, tapi siapapun nanti yang dapat amanah itu, aku yakin dia akan bertanggung jawab menjalankan amanah itu dengan benar-benar dan sungguh-sungguh. Kinerja yang baik itu nggak selalu berasal dari ambisi. Sudah banyak buktinya di Himabo yang berambisi tapi ternyata kurang amanah, dan beberapa orang yang awalnya hanya ditunjuk justru kinerjanya bagus. Ya kan?” Mas Wahyu hanya manggut-manggut.

“Aku yakin, siapapun dia, dia pasti akan bertanggung jawab dengan amanahnya, walau tidak punya ambisi seperti yang sampean bilang. Itu karena dia menyayangi keluarganya, dan karena dia sayang dia tidak ingin mengecewakan keluarganya.”

“Iya ya, bener juga katamu Sil.”

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruang aula. Tiba-tiba aku merasa tidak enak karena sedari tadi hanya berdua dengan Mas Wahyu di sini. Mas Wahyu sepertinya masih ingin asyik dengan lamunannya, jadi aku meninggalkannya sendiri, bergabung ke beberapa orang sie acara yang sudah bersiap di depan aula. Mubes Pengurus Himabo UM 2017 akan dimulai sebentar lagi.

Dan masa kepengurusan kami akan berakhir, sebentar lagi.

Malang, 21 Oktober 2017.

***
*ditulis ulang dengan sedikit tambahan percakapan yang sebenarnya di luar waktu itu. Biasa, pelupa. Tapi beberapa percakapan itu memang benar-benar pernah terjadi satu hari sebelum itu. Untuk Mas Wahyu Lantip Anggraito, tanpa mengurangi rasa hormatku padanya, ketuaku di Bakmin dan di Himabo UM selama 2015-2017. Terima kasih atas segenap kasih sayang dan tanggung jawabnya terhadap kami. Kami cuma mau bilang, amanah memang tidak pernah salah pundak. 
Barakallah, Kepengurusan Himabo UM periode 2016/2017. 

Ngakak liat posenya Mas Wahyu yang malu-malu gitu. Padahal biasanya juga kalau foto suka aneh gayanya. 

Komentar

Wahyuu mengatakan…
Hmm kan terharu jadinya
Unknown mengatakan…
Untuk aq mana

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'