Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

Quiet (2)

"You look so fine." "What? Emang selama ini aku kelihatan nggak baik gitu?"  Dan aku tertawa.  Menggelikan.  "No. But..terkadang kamu kelihatan nggak baik. Tapi di lain waktu kamu bisa terlihat baik-baik aja. Kadang kamu kelihatan nggak baik, kemudian tiba-tiba kelihatan baik-baik saja. It's something like.." Yaya berhenti sejenak, mencoba mencari kata yang tepat.  Haha, ada-ada saja kamu ini, Ya. Ya masak iya aku bakal kelihatan nggak baik-baik aja sepanjang waktu? Life is like a cycle. Ada kalanya aku juga punya momen bahagia kali.  "I mean, untuk beberapa waktu kamu bisa banget masa bodo dengan semua yang terjadi dalam hidupmu, semua yang telah kamu ceritakan kepadaku."  Kemudian dia memandangiku.  "Are you fine? Really fine?"  "Ahaha.. Yes, now I'm fine. Sure. Emang kamu ngeliat ada yang salah ya dari mukaku?" "Enggak, Sil. Tapi kamu itu terlalu pendiam loh. Aku jadi nggak ta

Quiet

“You’re so quiet, Sil. Really really quiet,” begitu kata Yaya. Di lain waktu, dia pernah menyebutku manusia hening.  Semacam sudah diset sedemikian, respon yang kutunjukkan saat itu lagi-lagi hanya senyum. Diam dan senyum. Namun diam sendiri bagiku seperti berfungsi semacam suatu tembok, dengan dua sisi tentunya, yang keduanya tidak dapat dilihat secara bersamaan. Diam adalah senyum pada raut wajahku, sedangkan dalam kepalaku sejumlah kata-kata yang berserakan seakan membentuk semacam gugusan pertanyaan dan berkecamuk sedemikian hebat. Ya, aku pendiam. Tapi, memangnya sediam apakah diriku, sehingga Yaya (dan yang lainnya) mengatakan demikian? Manusia hening? Haha, ini menggelikan. Mungkin ada juga beberapa yang tidak percaya jika aku mengatakan bahwa diriku ini memang pendiam. “Silmi? Pendiam? Hah? Hahaha.. Dilihat dari mana coba?” Tapi ya, aku memang pendiam. Bahkan amat sangat pendiam sekali (efektif nggak sih ini kalimat?). Yang diam-diam aku tidak diam (kal

Optional

Pagi tadi setelah makan sahur, aku sekeluarga berkumpul di ruang keluarga. Kami sempatkan untuk minum air putih yang banyak, mumpung belum imsak. Aku meringkuk di tikar yang kugelar semalam, tempatku tidur. Udara di sini memang dingin. Aku yang beberapa bulan kemarin tinggal di rumah mbah mulai merasa tak terbiasa dengan hawa dingin ini. Aku kembali memakai selimutku. Sambil menunggu waktu subuh, Mamak menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu. "Kemarin Siti dicakari sama Rohman," Mamak memulai cerita. "Kenapa i?" tanyaku penasaran. Aku pun segera bangun mengambil posisi duduk, masih dengan selimutku. "Critanya kemarin Siti nyuruh Rohman buat mandi. Nah, si Rohman tu malah bandel. Akhirnya Siti maksa Rohman, Rohman ditarik ke kamar mandi. Tapi Rohman berontak, dan mencakari tangan ibunya." Lek Siti adalah nama bulekku. Suaminya, Lek Ali, adalah adik dari bapak tiriku. Mereka memiliki 3 putra, Rohman, Zaki & Vilio. Rumahnya berada tepat di

Batas Senja

Gambar
Senja selalu bermain dengan tanya “Mengapa masih di sini?” Hingga akhirnya kubisikkan, “Lihat, dalam kawanan tanpa harus bertopeng, tanpa harus menjadi orang lain. Lihat, begitu sederhana tawa mereka, menjadi penyemangat bagi jiwa yang rapuh.” Kawan, senja kan lewat, rindu kan semakin menghangat Juga rentetan senyum yang membuat kita semakin dekat Semua kan hilang Seiring perginya senja yang kian melekat Waktu berubah, rindu perlahan melangkah Begitu pula kisah Cinta, luka, tangis, tawa, semua bergantian mendaur ulang rasa Kumohon, tetaplah di sini, di batas senja kita hari ini Meski langkah telah kelelahan menyusuri romansa kegelisahan Kita tetap seorang kawan Tepat setelah jejak-jejak kaki melangkah pergi Rasa dipermainkan sekali lagi Aku mencari,  aku menyapa,  aku menanti,  aku merindu,  aku terisak Dan aku, kan menunggu hadir kalian kembali Hingga pada akhirnya, kita harus belajar mengenang Rela atas semua yang hilang dan se