Optional
Pagi tadi setelah makan sahur, aku sekeluarga berkumpul di ruang keluarga. Kami sempatkan untuk minum air putih yang banyak, mumpung belum imsak. Aku meringkuk di tikar yang kugelar semalam, tempatku tidur. Udara di sini memang dingin. Aku yang beberapa bulan kemarin tinggal di rumah mbah mulai merasa tak terbiasa dengan hawa dingin ini. Aku kembali memakai selimutku.
Sambil menunggu waktu subuh, Mamak menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu.
"Kemarin Siti dicakari sama Rohman," Mamak memulai cerita.
"Kenapa i?" tanyaku penasaran. Aku pun segera bangun mengambil posisi duduk, masih dengan selimutku.
"Critanya kemarin Siti nyuruh Rohman buat mandi. Nah, si Rohman tu malah bandel. Akhirnya Siti maksa Rohman, Rohman ditarik ke kamar mandi. Tapi Rohman berontak, dan mencakari tangan ibunya."
Lek Siti adalah nama bulekku. Suaminya, Lek Ali, adalah adik dari bapak tiriku. Mereka memiliki 3 putra, Rohman, Zaki & Vilio. Rumahnya berada tepat di depan rumah yang kami huni.
"Siti marah-marah, sampai kedengeran Ali."
"Terus?" tanyaku penasaran.
"Ali ambil pecut kecil, si Rohman di pecut kakinya."
"Walah, lha terus Lek Siti gimana?"
"Siti nangis malah, sambil bilang: 'Woalah, disuruh mandi ae kok bandel, sampek dipecut bapak'e'." Mamak mengakhiri ceritanya.
"Ckckck, kok ada ya orang kayak gitu." gumamku.
"Lha ya, si Rohman ya gitu og, gak mau nurutin Siti. Siti juga udah tau anaknya bandel malah nyuruhnya pake bentak-bentak. Udah tau juga kalo suaminya tu gak sabaran orangnya kalo denger anak bandel."
"Hadeh," ucapku sambil geleng-geleng kepala.
"Itu aja si Ali sempet mau ambil pecut yang besar og."
"Lha wong Ali tuh orangnya keras. Orang daerah sini tu keras-keras" sahut Bapak yang sedari tadi hanya mendengarkan.
"Lha ya, Siti sampek nangis, padahal Siti tu orangnya lembut, maksudnya dari kecil dia gak pernah liat orang pake kekerasan di tempat asalnya" sambung Mamak.
"Emang kok. Lha wong ibunya Siti orangnya lembut, bapaknya juga" kata Bapak.
Baru kuingat, Lek Siti berasal dari daerah Solo yang terkenal dengan lemah lembutnya. Marahnya orang Solo itu lebih ke verbal. Sedangkan Lek Ali dari Padangan, Bojonegoro, yang seperti kata Bapak katakan, tipikal penduduknya keras. Mereka cenderung bertindak daripada lisan.
"Kalo aku punya anak kayak Rohman, aku langsung cubit aja. Daripada lihat anaknya disakitin orang lain," kata Mamak.
Ucapan Mamak yang terakhir menutup perbincangan kami, karena adzan subuh sudah terdengar. Kami pun beranjak mengambil wudhu. Walaupun airnya dingin sekali, aku paksakan, untuk memenuhi panggilan Sang Khaliq. Setelah melaksanakan shalat subuh, Mamak, Bapak dan adik-adikku kembali tidur. Sambil mengetik percakapan tadi, aku masih ingat kata terakhir Mamak tadi. Mungkin benar, lebih baik kita sendiri yang mengambil tindakan terhadap orang yang kita sayang saat dia bersalah, daripada kita merasa sakit hati melihat orang yang kita sayang dihukum/disakiti orang lain.
Padangan, 4 Juli 2014
Sambil menunggu waktu subuh, Mamak menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu.
"Kemarin Siti dicakari sama Rohman," Mamak memulai cerita.
"Kenapa i?" tanyaku penasaran. Aku pun segera bangun mengambil posisi duduk, masih dengan selimutku.
"Critanya kemarin Siti nyuruh Rohman buat mandi. Nah, si Rohman tu malah bandel. Akhirnya Siti maksa Rohman, Rohman ditarik ke kamar mandi. Tapi Rohman berontak, dan mencakari tangan ibunya."
Lek Siti adalah nama bulekku. Suaminya, Lek Ali, adalah adik dari bapak tiriku. Mereka memiliki 3 putra, Rohman, Zaki & Vilio. Rumahnya berada tepat di depan rumah yang kami huni.
"Siti marah-marah, sampai kedengeran Ali."
"Terus?" tanyaku penasaran.
"Ali ambil pecut kecil, si Rohman di pecut kakinya."
"Walah, lha terus Lek Siti gimana?"
"Siti nangis malah, sambil bilang: 'Woalah, disuruh mandi ae kok bandel, sampek dipecut bapak'e'." Mamak mengakhiri ceritanya.
"Ckckck, kok ada ya orang kayak gitu." gumamku.
"Lha ya, si Rohman ya gitu og, gak mau nurutin Siti. Siti juga udah tau anaknya bandel malah nyuruhnya pake bentak-bentak. Udah tau juga kalo suaminya tu gak sabaran orangnya kalo denger anak bandel."
"Hadeh," ucapku sambil geleng-geleng kepala.
"Itu aja si Ali sempet mau ambil pecut yang besar og."
"Lha wong Ali tuh orangnya keras. Orang daerah sini tu keras-keras" sahut Bapak yang sedari tadi hanya mendengarkan.
"Lha ya, Siti sampek nangis, padahal Siti tu orangnya lembut, maksudnya dari kecil dia gak pernah liat orang pake kekerasan di tempat asalnya" sambung Mamak.
"Emang kok. Lha wong ibunya Siti orangnya lembut, bapaknya juga" kata Bapak.
Baru kuingat, Lek Siti berasal dari daerah Solo yang terkenal dengan lemah lembutnya. Marahnya orang Solo itu lebih ke verbal. Sedangkan Lek Ali dari Padangan, Bojonegoro, yang seperti kata Bapak katakan, tipikal penduduknya keras. Mereka cenderung bertindak daripada lisan.
"Kalo aku punya anak kayak Rohman, aku langsung cubit aja. Daripada lihat anaknya disakitin orang lain," kata Mamak.
Ucapan Mamak yang terakhir menutup perbincangan kami, karena adzan subuh sudah terdengar. Kami pun beranjak mengambil wudhu. Walaupun airnya dingin sekali, aku paksakan, untuk memenuhi panggilan Sang Khaliq. Setelah melaksanakan shalat subuh, Mamak, Bapak dan adik-adikku kembali tidur. Sambil mengetik percakapan tadi, aku masih ingat kata terakhir Mamak tadi. Mungkin benar, lebih baik kita sendiri yang mengambil tindakan terhadap orang yang kita sayang saat dia bersalah, daripada kita merasa sakit hati melihat orang yang kita sayang dihukum/disakiti orang lain.
Padangan, 4 Juli 2014
Komentar