Quiet

“You’re so quiet, Sil. Really really quiet,” begitu kata Yaya. Di lain waktu, dia pernah menyebutku manusia hening. 

Semacam sudah diset sedemikian, respon yang kutunjukkan saat itu lagi-lagi hanya senyum. Diam dan senyum. Namun diam sendiri bagiku seperti berfungsi semacam suatu tembok, dengan dua sisi tentunya, yang keduanya tidak dapat dilihat secara bersamaan. Diam adalah senyum pada raut wajahku, sedangkan dalam kepalaku sejumlah kata-kata yang berserakan seakan membentuk semacam gugusan pertanyaan dan berkecamuk sedemikian hebat.

Ya, aku pendiam.

Tapi, memangnya sediam apakah diriku, sehingga Yaya (dan yang lainnya) mengatakan demikian?

Manusia hening? Haha, ini menggelikan.

Mungkin ada juga beberapa yang tidak percaya jika aku mengatakan bahwa diriku ini memang pendiam.

“Silmi? Pendiam? Hah? Hahaha.. Dilihat dari mana coba?”

Tapi ya, aku memang pendiam. Bahkan amat sangat pendiam sekali (efektif nggak sih ini kalimat?).

Yang diam-diam aku tidak diam (kalimat macam apa lagi ini?). Selalu ada hal yang membuatku hampir tak bisa mengistirahatkan batinku.

Ah tapi, bukan berarti aku seorang pemikir andal. Jika kamu orang yang mampu mengorek isi kepalaku, akan kamu temukan banyak hal tidak berfaedah yang berserakan. Berhamburan. Kal’ihnil manfus. 

Semisal apa?

Semisal, humm, apa ya? 

Lalu tiba-tiba Firman mengatakan padaku, “Orang-orang yang pendiam itu, adalah orang-orang kreatif.” Kehadirannya yang tiba-tiba tentu mengejutkanku. Tapi emang dasarnya pendiam, ekspresi terkejutku hampir tidak nampak, dan aku masih tampak elegan. Ah, anggap saja kata yang terakhir itu typo. 

“Ahaha, beberapa orang mengataiku kreatif. Aku sendiri tidak mengerti, aku kreatif dari mana coba?” lagi-lagi kujawab dengan tersenyum, biar tetap elegan (typo lagi). Malam itu aku diam bukan sedang memikirkan sesuatu seperti biasanya, hanya ingin memandangi langit yang bintangnya tidak seberapa banyak. Langit sedang agak kelabu memang.

“Ya karena orang-orang pendiam sebenarnya adalah orang-orang yang mudah bosan. Ia, dalam diamnya, selalu memikirkan sesuatu yang lain yang ingin ia lakukan, yang tidak dilakukan orang kebanyakan. Dan saat dia melakukannya, baru orang lain yang melihatnya akan menyebutnya kreatif.”

Hmm, yakali, Man. Tapi ngomong-ngomong, ngapain kamu mengusik sendiriku? Sana nimbrung lagi ke anak-anak yang jaga parkiran. 

Dan tiba-tiba ingatanku kembali kembali ke beberapa bulan yang lalu, saat pemilihan konsentrasi jurusan. Dengan berbagai pertimbangan aku telah menyusun kelima jenis peminatan Psikologi dalam sebuah skala prioritas untuk kupilih, hingga pada akhirnya aku memilih Psikologi Perkembangan sebagai konsentrasiku. 

Dan sejujurnya, aku tidak mengerti apa itu Psikologi Perkembangan. Apa saja ranah keilmuannya, dan juga ke mana ranah profesinya. Sedangkan sebagai sulung, aku masih memiliki memiliki semacam 'kewajiban' untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. 

Yang aku tahu di dalamnya mempelajari tentang perkembangan manusia sepanjang hayatnya, mulai dari prakelahiran manusia hingga manusia tersebut lanjut usia, bahkan ada materi khusus tentang kematian. Tentang isu-isu perkembangan? Jangankan aku, Bu Eva saja yang mengambil S3 Psikologi Perkembangan juga bingung dengan kejelasannya.

Kemudian jalan pikiranku memutar balik arah, kembali ke tentang diriku yang pendiam. Aku ingat, sewaktu kecil aku adalah anak yang periang. Lalu sejak aku mulai memahami berbagai konflik yang menempa orang tuaku, juga sikap orang-orang sekitar terhadapku dan cara mereka memandangku, lambat laun aku berubah menjadi lebih suka menjadi pengamat daripada bergerak. Dan jadi pendengar. Dan pendiam. Dan perasa. You see this now. 

Benar kata Pak Yus dulu, orang berkepribadian INFP dibentuk oleh lingkungan dan kondisi yang menekan. "Mereka sudah pasti adalah orang-orang yang menderita." Ah, sakit sekali mendengarnya. Dan selanjutnya aku tak ingin anak-anakku nanti menjadi sepertiku. Aku ingin belajar mempersiapkan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anakku. Menjadi orang tua hebat bagi mereka, sebagai tanggung jawab atas amanah yang, barangkali suatu saat, diamanahkan kepadaku. Begitulah alasanku memilih Perkembangan. 

Ah, benar kata Firman tadi, ada sesuatu yang ingin aku lakukan dalam diamku.


Villa Bukit Tlekung, Batu, 10 November 2017, hampir memasuki dini hari. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'