Quiet (2)

"You look so fine."

"What? Emang selama ini aku kelihatan nggak baik gitu?" Dan aku tertawa. Menggelikan. 

"No. But..terkadang kamu kelihatan nggak baik. Tapi di lain waktu kamu bisa terlihat baik-baik aja. Kadang kamu kelihatan nggak baik, kemudian tiba-tiba kelihatan baik-baik saja. It's something like.." Yaya berhenti sejenak, mencoba mencari kata yang tepat. 

Haha, ada-ada saja kamu ini, Ya. Ya masak iya aku bakal kelihatan nggak baik-baik aja sepanjang waktu? Life is like a cycle. Ada kalanya aku juga punya momen bahagia kali. 

"I mean, untuk beberapa waktu kamu bisa banget masa bodo dengan semua yang terjadi dalam hidupmu, semua yang telah kamu ceritakan kepadaku." 

Kemudian dia memandangiku. 

"Are you fine? Really fine?" 

"Ahaha.. Yes, now I'm fine. Sure. Emang kamu ngeliat ada yang salah ya dari mukaku?"

"Enggak, Sil. Tapi kamu itu terlalu pendiam loh. Aku jadi nggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirimu, apa yang sebenarnya sedang kamu rasakan. Bicara dong sama aku kalau kamu ada masalah. Ya walaupun mungkin aku nggak bisa membantumu secara keseluruhan, setidaknya kamu itu tidak sendiri." 

Selalu kalimat yang semacam itu. Aku memang orang yang tidak mudah menceritakan apa saja yang terjadi pada diriku kepada orang lain, sebab sedari kecil aku tidak pernah dan tidak terbiasa pula melakukannya. Aktivitas 'curhat' yang umumnya menjadi kebiasaan anak-anak perempuan, adalah suatu hal yang asing bagiku. Aku hanya terbiasa menjadi pendengar saja. 

Hingga aku bertemu Yaya, sekitar dua tahun yang lalu. Dia berhasil menjadi yang pertama (jika tak bisa disebut satu-satunya) meyakinkanku untuk memilihnya menjadi seorang yang kupercaya, tempatku menceritakan berbagai masalah dan kegelisahan yang kuhadapi (yang setelah aku berhasil berbagi cerita kepadanya, aku baru menyadari bahwa yang kuhadapi ternyata amat banyak dan rumit). Dia berhasil meyakinkanku bahwa berbagi cerita bukanlah sesuatu yang salah. Walaupun hingga saat ini aku masih belum juga terbiasa untuk berbagi masalah dengannya jika bukan dia yang memaksa. Setidaknya aku masih mencoba. 

Yang paling kuingat adalah, ketika suatu kali aku bercerita padanya, "Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menangis. Berkali-kali aku mencoba, terutama ketika teringat hal-hal berat itu, tapi aku tidak berhasil. Rasanya seperti ada yang tertahan." Lalu dia berkata, "Sesungguhnya Dia sedang menunggu tangismu." Dan malamnya, aku berhasil menangis sejadi-jadinya selepas qiyamul lail. 

Ah, untungnya kamu bukan lelaki, Ya. Andai kamu lelaki, mungkin aku udah jatuh hati padamu sejak 7 Agustus 2015 lalu. 

Dan kami membicarakan banyak hal lainnya. Ah, kurasa bukan kami, tapi hanya Yaya. Aku selalu menjadi hanya pendengar, yang hanya akan bicara ketika dia mengatakan "What do you think?". Dan percakapan mengalir begitu saja, seperti gerimis yang saat itu tak kunjung reda yang membuat orang-orang sefakultas saat itu seakan tertahan dari berbagai aktivitas. Sebenarnya aku merasa ada yang kurang di sore itu: secangkir teh hangat, pake susu. 

"Sil.. Are you happy?" 

Aku mengerutkan kening. Maksudnya? Ah, kalau bicara sama Yaya selalu deh topiknya random gini. 

"Are you happy to be aloner?" 

“Happy?” Pertanyaan Yaya membuatku terkejut dan seketika aku ingin tertawa. Happy? Am I happy with this? Aku tidak pernah membayangkan ada pertanyaan semacam ini dalam topik yang sedang kami bahas kali ini. Ah, Yaya, ada-ada saja pertanyaanmu.

“Happy ya? Hemm... Jujur ya, Ya, aku sendiri bahkan nggak pernah mempertanyakan ini pada diriku sendiri." Aku berhenti sejenak. 

"Seperti yang sudah pernah kuceritakan kepadamu, tentang seluruh cerita hidupku. Jika kamu bertanya apakah hidup sendiri itu menyenangkan? Aku tidak bisa menjawab dengan pasti. Aku hanya bisa menjawab 'biasa aja', sebab menurutku emang biasa aja, aku memang sudah terlalu terbiasa. Karena sepanjang ceritaku, sejak sedari kecil, aku menjalaninya sendiri. Tidak ada sepenggal masaku yang berbeda yang bisa kujadikan pembanding apakah menjadi penyendiri itu menyenangkan atau tidak." 

Kemudian Yaya menggenggam tanganku. Terkadang, di situasi yang hampir serupa, dia menepuk bahuku. "Berceritalah padaku, berbagilah padaku jika kamu memiliki sesuatu." 

Aku hanya tersenyum. Don't worry, Ya. I'm always fine with this. Ucapku dalam hati. 

"Karena menurutku, sebenarnya sendiri (dan hidup sendiri) itu tidak masalah, asalkan keadaan sendiri itu bukan suatu keterpaksaan."


"Serius, Sil, bicaralah kalau ada apa-apa. Tentang temen kosmu kek, adekmu kek, someone..eh, btw kamu kayaknya kok nggak pernah curhat hal-hal yang berbau romance sih? Ayolah. Kalau kamu cuma senyum gitu aku jadi ngerasa kamu menganggapku orang asing." 

"Iya-iya, lain kali aku akan bicara." 

Ah iya, Ya, aku memohon kepada Allah, kiranya Ia berkenan mengumpulkan aku dan kamu di pasar surga, Ya. Sebagaimana doa yang diucapkan Abu Hurairah kepada Abu Said.


Malang, 30 Oktober 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'