Hana
23 Juli 2020, pukul 05.21 pagi.
Dari aplikasi Stellarium, ku tahu bahwa bintang terang yang tengah naik dari langit timur itu adalah Venus. Ahaha iya, dia bukan bintang. Dia planet. Tapi otak kita terbiasa mengasosiasikan semua benda berkelip kecil di langit gelap sebagai bintang.
Tak masalah.
Aku baru saja selesai berlari-lari kecil, dan kini aku tengah berjalan santai menuju rumah. Aneh barangkali, baru jam segini tapi sudah di jalan pulang. Hehe, aku hanya berlari selama 5 menit saja sih. Aku masih terjebak dalam stigma bahwa tidak elok anak perempuan malah keluyuran pagi-pagi. Stigma sialan memang, lama aku jadi malas bergerak karena ini.
Ah, aku ingin mengambil jalan pulang yang sedikit lebih panjang, sambil menyelesaikan celotehku ini. Hehe iya, aku mengetik sambil berjalan.
Rute yang selalu kulalui adalah sebuah jalan kecil yang sangat panjang menuju desa tetangga, yang di kiri kanan jalan adalah area persawahan. Sangat sepi di sini, itulah mengapa aku berani lewat sini. Jam lima tadi yang kudengar hanyalah suara cicitan burung-burung sawah, jangkrik, dan ada suara mesin diesel yang mungkin digunakan untuk keperluan irigasi di tengah sawah. Tidak masalah, aku masih dapat menikmatinya.
Melewati sebuah komplek perumahan, aku lalu teringat percakapan semalam. Ah iya, aku dan satu temanku sedang berencana untuk berjualan kaktus dan sukulen, dan semalam kami ribut menentukan nama toko kami.
Hana. Hana Kaktus. Cantik kali ya.
Hana dalam bahasa Jepang berarti bunga. Dalam variasi kata lain, hanabi berarti bunga api atau kembang api. Aku hanya mengetahui arti kata itu dari sebuah buku novel teenlit yang berjudul Hanakotoba, yang berarti bahasa bunga.
Hana Kaktus. Selain simpel, dia juga tak sulit unuk diingat, tidak sulit juga dilafalkan. Kata per katanya sederhana sehingga ketika orang lain akan mencarinya di media sosial tertentu, mereka tidak kesulitan menemukannya. Sederhana, tapi masih cantik.
Selain itu, aku dan temanku menghindari memakai nama asli atau inisial diri kami. Entah, demi kenyamanan pribadi saja sih ini. Aku juga sekarang terbiasa memakai nama inisial di beberapa akun media sosialku. Alasannya karena jika menggunakan nama akun dengan namaku sendiri, dan memasang fotoku, atau apapun yang bernuansa feminim, sangat rentan dikenai catcalling, bahkan ketika postingannya bernuansa islami. Ah, masih pagi, jangan mengumpat banyak-banyak.
Ah, kenapa semalam aku tidak terpikir nama itu? Ya sudahlah, namanya sudah telanjur diputuskan semalam kan.
Barangkali di lain waktu aku dapat membuka toko bunga atau bibit bunga yang tidak hanya terbatas kaktus dan sukulen saja. Nanti aku akan menggunakan nama itu. Hana.
Semoga.
Ahaha, aku tidak yakin sebetulnya jika bercita-cita membikin toko bunga. Mungkin aku hanya masih terpukau dengan buku Hanakotoba, dan aku memang sedang tertarik dengan bahasa bunga. Tapi bukan berarti aku lantas akan menjadi seorang pecinta bunga, kan? Lagipun, tetanggaku juga ada yang sudah membuka toko bunga yang lumayan besar dan sangat dikenal di sini. Aku tidak yakin kalau akan jadi pesaing. Tetanggaan kok jadi pesaing, udah kayak Indomaret sama Alfamart aja, hahaha.
Tapi toh, sekarang aku malah sedang merintisnya, walau masih sebatas kaktus dan sukulen. Siapa yang tahu akan jadi apa, kan?
Kuakui sesuatu menarik perhatianku sejak aku menyukai bunga matahari. Awalnya aku merasa janggal karena tidak biasanya aku menyukai bunga-bunga bermahkota besar, yang ketika dibuat suatu rangkaian seringkali dijadikan sebagai bunga utama karena penampilannya yang mencolok. Biasanya, aku lebih nyaman memilih bunga-bunga kecil yang jadi pelengkap, seperti baby breath atau daisy, atau dandelion. Hal itu bahkan terbawa ketika memilih pakaian, dalam lemariku tak ada baju dengan motif bunga-bunga besar. Aku lebih suka motif bunga-bunga kecil yang tidak begitu mencolok penglihatan.
Tapi konon, emosi seseorang pada suatu waktu menarik seseorang ke arah bunga-bunga tertentu, dan makna bunga yang dipilihnya tersebut mencerminkan apa yang tengah dirasakannya.
Aku jadi penasaran dan ingin membuktikan mitos itu. Hahaha. Suatu hari, aku mengajak temanku ke sebuah toko bunga. Sesampai di sana aku benar-benar jenuh dengan bunga-bunga yang ada. Maksudku, aku tahu mereka cantik, tapi aku tak berminat mengambilnya. Setelah menelusuri sampai ujung toko, aku melihat deretan tanaman semacam semak dengan bunga-bunga kecil berwarna ungu di ujungnya. Aku tertarik.
Namanya bunga taiwan beauty, tapi si pemilik toko menyebutnya taiwan seribu. Aku baru tahu ini. Tak ada makna spesifik untuk bunga ini, bahkan di literatur-literatur bahasa bunga dari Eropa maupun Jepang. Aku mengambilnya begitu saja bunga warna ungu itu, walau aku sempat melirik ke bunga yang sama dengan variasi warna putih.
Bunga ini berkerabat dengan bunga heather. Dan jika dibuka makna dari bunga heather yang berwarna ungu, artinya adalah kesendirian.
Dan beberapa minggu setelahnya aku memutuskan pacarku.
Ahaha, tidak tidak, aku hanya bercanda. Ini tidak ada hubungannya sebenarnya, karena aku memang juga sudah lama ingin melakukannya sebelum membeli bunga itu. Tapi jika memang ketidak sadaran yang menuntunku memilih bunga itu, mungkin itu benar. Maksudku, di masa pandemi ini aku memang merasa kesepian karena tidak dapat bertemu teman-temanku yang selalu menjadi support systemku.
Lalu suatu malam aku juga pernah bermimpi mendapatkan seikat bunga lily berwarna putih. Cantik, begitu kesan pertamaku ketika tangan itu mengulurkan karangan bunganya. Saking terpukaunya aku sampai tidak memandang siapa yang memberikan bunga itu untukku. Hahaha, itu hanya mimpi, bukan? Tak penting siapa dia. Tapi sejak malam itu aku jadi mulai suka pada bunga lily. Ah, lagi-lagi aku jatuh pada pesona bunga bermahkota besar.
Ah biarlah. Aku membeli bunga karena aku ingin memiliki sesuatu untuk dirawat, karena di rumah aku dilarang memelihara kucing. Rasanya aku ingin menambah lagi, satu bunga taiwan beauty yang warna putih yang tadi, atau calla lily, atau bunga lavender, atau sukulen, atau kaktus, atau yang mana saja. Eh, bagaimana kalau bunga matahari yang berukuran mungil dalam pot? Tidak buruk kan.
Komentar