Denial

Entah apa istilah yang cocok untuk aku: pemalas tapi tidak nyaman kalau hanya berdiam diri saja, tetapi juga bukan orang yang aktif apalagi hiperaktif karena aku pada dasarnya kurang inisiatif untuk memulai. Dan lagi, walau aku suka bergerak, aku bukan orang yang gesit. Mungkin orang lain akan menilai kalau aku orang yang lamban kerjanya. Aku menyadari itu sih, salah satunya untuk membuat satu tulisan di blog. Satu tulisan bisa saja memakan waktu berhari-hari, berpekan-pekan, bahkan yang lebih parah berbulan-bulan (ada satu draft tulisan dari sejak berbulan-bulan yang lalu dan sampai sekarang belum aku lanjutkan). Yang membuat lama biasanya sih faktor mood, he he. Soalnya aku tipe orang yang suka menuruti apa saja yang aku rasakan. Jadi kalau suasana hati sedang baik ya dikerjakan, kalau tidak ya tinggalkan, selama hal itu tidak menyinggung atau berurusan orang lain. 

Dan ya, aku tipe orang yang bisa dikatakan sulit untuk berhubungan dengan orang lain. Dikombinasikan dengan sifat pemalasku, aku menjadi nyaman dengan istilah kerja sendiri dan menghindari kerja tim, juga tidak berkeinginan untuk mendekat dan berbagi dengan orang lain. Aku seperti anti untuk berkaitan dengan orang lain. Bahkan yang paling parah, aku pernah berkata "Andai Nabi mengizinkan orang untuk melajang, mungkin aku salah seorang yang memilih demikian". Aku seperti sudah sangat nyaman untuk hidup begini saja. 

Sepertinya aku terlalu mengurung diriku. Dan dampaknya, aku kini menjadi manusia yang hidup tanpa gairah. Apa bedanya orang yang tidak memiliki gairah hidup dengan orang mati? Maka, sampai sekarang aku masih mencari apa yang bisa meningkatkan gairah itu.

Biasanya aku akan mengkambing hitamkan masa laluku, menyalahkan pola asuh dan masyarakat 'tidak sehat' tempat tinggalku dulu, sebagai mekanisme pertahanan diri atas perilaku-perilaku buruk yang kulakukan saat ini. Secara teori memang dinyatakan bahwa setiap hal yang terjadi di sepanjang hidup manusia sepanjang hidupnya, terutama pada masa kanak-kanak, akan membentuk kepribadian manusia tersebut. Dan apa yang aku alami di masa lalu seperti semacam pengkondisian yang membuat aku menjadi manusia yang sunyi dan penyendiri. Tentu menjadikan kebenaran menjadi sebuah pembenaran bukan perbuatan yang benar, bukan? Apakah dengan menyalahkan masa lalu, semua akan berubah menjadi lebih baik? 

Tentu ini pertanyaan lawas yang kita semua tahu jawabannya: tidak. Langkah pertama, setidaknya aku sudah menyadari bahwa tindakan seperti ini hanya sebuah defensi, yang mungkin karena aku sering melakukannya menjadikannya sebagai defensi andalanku. Akhirnya aku menyadari, dari 32 jenis defensi, denial atau menyangkal adalah satu defensi yang paling sering kulakukan. 

Dari tahun lalu, aku selalu berpikiran untuk melakukan sesi terapi psikologis, atau setidaknya konseling. Sebenarnya di kampusku ada lembaga yang mewadahi keinginan tersebut, yaitu LP3 untuk bantuan profesional atau PCC jika hanya ingin sekadar curhat kepada orang yang sebaya dengan kita. Tetapi selalu saja kuurungkan, dan ini salah satu sifat burukku yang lain: peragu. Sifat ini menurunkan sifat burukku yang lain yaitu menunda-nunda, dan akhirnya batal. 

Sekarang aku menjadi tidak yakin, apakah menulis masih bisa menjadi media terapi untukku? Karena aku selalu memperlakukannya sebagai katarsis, aku menulis hanya saat ingin menulis dan menulis apa yang ingin aku tulis tanpa memiliki tujuan. Dan benar-benar aku merasa semua yang aku lakukan saat ini hanya berpusat pada keinginan sesaat dan kesenangan saja. Seperti saat ini aku senang membuat status-status lucu (setidaknya menurutku itu lucu) di WhatsApp. Aku melakukan itu sebagai kesenangan saja, selain sebagai pengalihan agar aku tidak mendadak berubah melankolis (aku bisa menjadi sangat murung jika terlalu lama diam, makanya aku selalu ingin bergerak walaupun aku bukan orang yang gesit). 

Sebentar, aku tidak tahu tulisan ini akan mengarah kemana. Tetapi malam ini aku memang sedang ingin kembali menulis. Bagaimana jika aku akhiri saja sekarang? 

Oh iya, aku benar-benar ingin berangkat konseling, tapi ya begitu, selalu ragu-ragu saat akan pergi. Apa ya kira-kira yang bisa jadi penguat dan meyakinkan diriku agar aku benar-benar pergi konseling? 

(Yeay, akhirnya aku bisa menyelesaikan satu tulisan dalam sekali tembak, ya walau hampir menghabiskan waktu 1 jam.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'