Kelas Angkot (bag. 1)
9 April lalu adikku bungsu yang baru berusia 5 tahun berekreasi ke Jatim Park 2 atau JP2. Sama rombongan TK-nya sih, hehe. Rekreasi anak TK itu identik dengan..yup, orang tuanya pasti ikut mendampingi. Mamakku yang akhirnya memutuskan menemani perjalanan adikku.
Sebulan sebelumnya, aku langsung mengagendakan hari itu khusus untuk pergi ke JP2 setelah mendapat kabar bahwa TK adikku akan rekreasi ke sana. Malang ke Batu nggak jauh lah ya. Kapan lagi bisa ketemu Mamak tanpa harus menjamur di bus selama 7 jam? Apalagi hari itu hari Kamis dan aku memang tidak ada kuliah hari Kamis. Fix, agendakan!
Hihi, tumben ya aku bisa merencanakan agenda, padahal biasanya aku orang yang spontan yang kalau pengen apa langsung nyeloyor berangkat aja. Sungguh ini adalah suatu pencapaian besar dan harus diapresiasi, haha..
H-3, aku baru kepikiran. Btw aku mau naik apa buat sampai ke Batu? Mau minta tolong anter teman, eh malah pada full kuliahnya hari itu. Mau pinjam motor, belum punya SIM juga (alibi sih, sebenarnya karena emang nggak tahu jalan dan paling takut tersesat, hehe). Opsi terakhir ya naik angkot. Dan H-1 aku baru searching di Google angkot apa aja yang harus aku naikin untuk sampai di JP2. Biasa, pecandu wangsit the power of kepepet. Well, dapat disimpulkan bahwa aku emang bukan seorang perencana yang andal, haha. Malam itu aku langsung preparing agar paginya aku bisa langsung berangkat ke tujuan.
Tapi pagi harinya aku baru sadar lagi, Mamak sama Shomad masuk ke lokasi jam berapa ya? Nggak lucu kan kalau sudah jauh-jauh datang eh tapi nggak jadi ketemu gara-gara mereka sudah masuk wahana wisatanya. Ah, benar-benar bukan seorang good planner nih (sorakin: huu..). Pagi itu aku langsung buka WhatsApp dengan tujuan untuk menghubungi Mamak.
Tapi aku melihat ada pesan masuk dari teman SD-ku, Iwan. Ya, aku golongan orang dengan rentang atensi pendek dan mudah terdistraksi (wuih istilah kognitifnya keluar), dan aku menunda menghubungi Mamak, memilih membalas pesan temanku itu lebih dulu.
"Sil, posisi." Pesan itu sudah masuk jam 20.35 semalam rupanya. Tapi aku sudah offline.
"Aku nggak lagi di Cepu, Wan. Lagi di Malang ini." Ya dulu kita satu sekolah SD di Cepu. Sejak dia lulus SMP dia pindah ke Tulungagung, dan biasanya kita meet up dengan teman-teman SD dulu kalau dia sedang singgah di Cepu.
"Aku di Malang ini," balasnya dengan emoticon tertawa di akhir kalimat.
"What? Ngapain kamu di Malang?" Jujur waktu itu aku benar-benar baru membuka mata dari bangun tidur dan belum cuci muka dan sebagainya (nggak usah dibayangkan). Mataku yang tadinya masih setengah sadar langsung beneran melek karena kaget.
"Liburan lah. Ayok cari sarapan, lapar aku."
Aku histeris seketika. Yuli yang sedang siap-siap berangkat kuliah pagi jadi terdiam melihatku. Tumben nih anak bisa histeris, biasanya itu muka lempeng aja gitu. Pikirnya barangkali.
"Ini temenku SD mendadak bilang lagi di Malang, Yul," jawabku seolah bisa membaca pertanyaan dalam diamnya Yuli. "Bayangin, Yul, sepagi ini ngajak keluar cari sarapan, sedangkan aku baru melek dan belum mandi."
"Hayolo, Sil.." si Yuli malah menggoda. Ah, Indonesia memang bukan tempat yang tepat untuk mencari solusi cepat *krik-krik*.
Aku kembali membalas pesan Iwan, "Hee aku belum mandi," dan aku tambahkan emoticon tawa berderai air mata.
"Halah cuci muka tok aja wes. Aku jemput Widia sekalian."
Dulu, aku, Iwan dan Widia adalah teman se-SD. Kebetulan pula Widia sekarang juga berkuliah di Malang, di kampus yang sama denganku. Kalau bisa meet up bertiga, kenapa enggak?
Sebentar kemudian pesan dari Iwan masuk. "Sial, lagi nungguin Widia mandi ini lama banget."
"Haha, aku mandi sekalian deh kalau gitu," balasku.
Tapi aku tidak langsung beranjak dari kasurku. Ya iyalah, tujuan untuk menghubungi Mamakku belum terlaksana gara-gara fokus balas pesannya Iwan dan sejenak melamun bernostalgia ria. Untungnya Mamak segera membalas pesanku, katanya rombongan akan sampai di JP2 jam 12.00 karena tujuan pertamanya ternyata di Wisata Petik Apel dulu kemudian makan siang. Oke, aku masih ada waktu untuk bertemu dengan Iwan dulu sebelum ke berangkat Batu. Sebelum menutup WhatsApp aku sempat melihat balasan terakhir Iwan, "Duh, cewek-cewek ini lama kalau mandi."
"Haha, wes to aku nggak lama." Setelah itu aku offline.
Setelah mandi dan selesai bersiap-siap, aku berjalan ke kedai bubur ayam di ujung Jalan Terusan Surabaya. Di sana hanya ada Iwan dan seorang laki-laki. Widia tidak ada.
"Mana Widia?"
"Nggak bisa ikut dia."
"Lah, kuliah ta?"
"Enggak, dia Kamis sebenarnya nggak kuliah. Tapi di jurusannya ada bazar kewirausahaan dan dia jadwalnya jaga stan. Assem, udah nunggu dia mandi lama cuma buat nganterin dia ke kampus." Aku nggak bisa nggak ketawa mendengar gerutuannya.
"Ini temanmu, Wan?"
"Iya, ini Edwin, teman SMK dulu."
Edwin mengulurkan tangan hendak menjabat, sebagaimana tradisi dalam perkenalan. Sedangkan aku sudah tidak terbiasa menjabat tangan non mahram, jadi aku hanya mengatupkan kedua tanganku di depan dada.
"Hmm, aku Silmi, Mas Edwin. Iwan pasti udah cerita kan ya tentang aku?" Ujarku sok pede sambil tertawa. Kami tertawa. Setidaknya itu bisa menghapus kecanggungannya yang tadi karena jabatan tangannya kutolak.
Sambil menghabiskan bubur ayam yang dipesankan Iwan, kami berbincang. Iwan dan Edwin berencana ke Batu juga hari ini. Tetapi ke Jatim Park 1 atau JP1. Sayangnya kami tidak bisa pergi bersama karena mereka hanya bawa satu motor berdua. Jadi aku tetap pergi naik angkot.
"Habis dari Batu kamu balik lagi ke Malang kah?" tanyaku.
"Nggak tahu nih, Edwin. Katanya mau ajak ke kampung warna-warni."
"Jodipan," Edwin segera menyahut.
"Oh, aku ikut wes nanti pas ke Jodipan. SMS-an nanti."
Jam 9 kami berpisah. Mereka dengan motornya dan aku naik angkot. Sesuai informasi yang aku dapat di Google, dari kosku aku harus pergi ke terminal Landungsari dulu dengan angkot berkode AL atau LG (atau angkot apa saja yang berkode L). Aku mendapatkan angkot LG. Sesampai di Landungsari akan ada banyak jenis angkot berwarna-warni yang menuju ke Batu. Tetapi jangan salah, walau sama-sama ke Batu, rute yang ditempuh masing-masing angkot berbeda. Untuk sampai ke JP2 angkot yang harus dinaiki adalah BJL yang berwarna kuning, karena hanya itu yang melewati JP2. Terima kasih banyak-banyak kepadaa Google dan para blogger traveler yang sudah menuliskan tips naik angkot untuk menuju ke JP2.
Kebetulan penumpang di angkot BJL hanya ada tiga orang. Aku dan seorang bapak di belakang, dan seorang ibu paruh baya yang duduk di depan. Sampai di suatu tempat si bapak penumpang ini turun. Angkot berjalan. Tetapi dari kejauhan bapak penumpang itu berlari mengejar dan berteriak.
"Ini pasti ada barang tertinggal punya bapak itu." kata si bapak sopir.
Benar saja. Di sebelah kakiku ada sebuah kardus bertali rafia milik si bapak penumpang itu. Setelah beliau mengambil barangnya dan berterima kasih, angkot kembali berjalan. Selama di angkot kami banyak berbincang, lebih banyak bapak sopirnya yang bercerita pengalamannya selama narik angkot.
"Sering ya, Pak, ada penumpang yang barangnya ketinggalan gitu?" tanyaku memulai percakapan, memanfaatkan kejadian barusan sebagai topik. Kamu tahu kan, menghabiskan waktu untuk menunggu sampai di lokasi itu nggak enak, apalagi kalau harus menjamur di perjalanan yang kamu tidak tahu akan memakan waktu berapa lama. Dulu saat awal kuliah, aku sering kali melakukan ini dengan penumpang sebelahku di bus sepanjang perjalanan Malang-Bojonegoro atau sebaliknya. Kadang hal-hal berharga hanya bisa kamu pungut dari kesempatan yang demikian. Sayangnya, akhir-akhir ini aku lebih sering tidur kalau sedang di bus, dan saling tidak acuh dengan penumpang di sebelahku. Hiks.
"Sering banget, Mbak, kejadian penumpang yang meninggalkan barang bawaannya di angkot pas turun. Hati-hati sama barang bawaaannya, Mbak."
Si bapak sopir berkata, selama yang ditinggalkan berupa barang berharga yang masih mungkin untuk dikembalikan, si bapak akan berusaha mengembalikan barang itu. Karena kita tak pernah tahu seberapa bernilainya barang tersebut bagi si pemilik. Otak gabutku jadi membayangkan jika yang kehilangan barang tersebut adalah seorang mahasiswa semester akhir, yang ditinggalkan adalah sebuah tas yang di dalam ada laptop yang berisi revisian skripsi sampai pada bab sekian.
"Loh, pernah Mbak, ada penumpang ibu-ibu sama anak bayinya sambil bawa tas ransel besar. Karena repot sama anaknya kali ya, tasnya jadi ketinggalan. Jadi ya saya amankan di dekat tempat duduk saya ini," sambil menunjuk sebelah kemudi tempat beliau meletakkan tas itu. "Saya nggak tahu isi tas itu apa dan saya nggak berani buka tas itu. Bukannya apa-apa, Mbak. Takutnya kalau tergiur ingin memilikinya. Katanya perbuatan yang tidak benar itu bisa muncul dari kesempatan. Makanya saya menahan diri untuk membuka tas itu. Lah ternyata ibunya yang punya tas itu udah sampai di Malang, di kota sana, terus balik lagi ke Landungsari diantar pake motor sama suaminya gara-gara ingat tasnya tertinggal. Mereka berterima kasih sama saya karena tasnya nggak jadi hilang."
"Pasti isinya barang berharga ya, Pak?" tanyaku menebak. Tapi sebenarnya hanya umpan balik agar percakapan tidak berhenti di aku. Menjadi yang terakhir kadang tidak enak juga, apalagi dalam percakapan. Eh, hati-hati kebawa baper ya bacanya, aku emang suka mendadak nulis kalimat-kalimat yang bisa menjebak perasaan gitu sih.
"Ya mungkin saja, Mbak. Orang tasnya berat banget waktu itu."
Bahkan suatu kali bapak ini pernah sampai rela mengantar barang penumpang yang tertinggal di angkotnya ke rumahnya si penumpang, yang kebetulan beliau tahu alamat rumahnya. Ada juga yang pernah meninggalkan daging ayam banyak sekali di kolong kursi penumpang, dan baru ketahuan setelah tiga hari karena berbau busuk.
"Ya gimana lagi, Mbak, ya saya buang lah. Udah busuk nggak mungkin juga dicari sama pemiliknya. Kayaknya yang punya itu mau ada hajatan. Paling pas nyampe rumah dia baru nyadar kalau dagingnya tertinggal. Kasihan. Tapi ya, namanya rezeki, kudu ikhlas kalau emang bukan miliknya."
Ada lagi yang meninggalkan makanan. Banyak. Pernah juga ada empat bungkus bakso tertinggal di pojok kursi. Ya karena nggak tahu juga siapa yang meninggalkan, dan sudah malam juga, kalau nggak dimakan baksonya basi, dimakanlah bakso itu sama si bapak.
"Wah, kalau itu ya wes rezekinya njenengan, Pak. Lha nggak mungkin juga kalau makanan hilang dicariin, mestinya kalau ilang ya diikhlasin sama yang punya. Barang nggak awet soalnya," kata ibu yang duduk di depan.
Sebentar kemudian si ibu juga turun. Kali ini tidak ada barang yang tinggal.
"Kuliah di Malang ta, Mbak?"
"Nggeh, Pak, di Malang."
"Di mananya?"
"Di UM, Pak."
"Saya juga punya anak yang lagi kuliah, Mbak. Perempuan juga.."
Kemudian beliau bercerita tentang putrinya yang berkuliah di Jakarta. Tentang biaya hidupnya, biaya kos, sampai jadwal kuliah. Beliau ternyata belum tahu kalau setiap kampus memiliki kalender akademik masing-masing, yang artinya jadwal liburnya pun berbeda. Tidak seperti sekolah yang peraturannya sama setiap tempat karena mengikuti peraturan dari pemerintah.
Sejurus kemudian penumpang baru naik. Seorang ibu dengan anak laki-laki di gendongannya. Beliau duduk di depan. Kata si ibu, anaknya berusia 8 bulan. Jujur, gemas sekali melihat anak kecil seperti itu, tapi aku terlalu pendiam untuk bisa berinteraksi dengan anak kecil. Berinteraksi dengan anak kecil itu harus lebih banyak inisiatif aktif dari pihak yang lebih tua, berbeda dengan berinteraksi dengan orang dewasa yang kedua pihak harus sama aktif, atau berinteraksi dengan orang lanjut usia yang harus lebih banyak diam mendengarkan. Orang tua itu suka berbicara, maka butuh pendengar.
Nah ini ada lagi penumpang baru, seorang lanjut usia laki-laki. Fisik beliau sudah mulai rapuh tampaknya, karena untuk berjalan harus dengan bantuan walker. Dengan perlahan beliau memasukkan tongkat empat kakinya itu lebih dulu ke angkot, kemudian dengan berpegang pada pintu beliau mencoba masuk dalam angkot. Kamu mungkin tidak akan sampai hati melihat pemandangan seperti ini, apalagi jika kamu sedang duduk di posisiku, tepat menghadap pintu masuk angkot ini. Sebisa mungkin aku menahan pintu agar tidak bergerak saat beliau pegang dan menggeser walker-nya agar beliau tidak terhalang saat masuk. Beliau berhasil masuk dan duduk di sebelah pintu.
"Piyambakan, Pak?" tanyaku menggunakan Bahasa Jawa halus, yang artinya, "Sendirian, Pak?"
"Iyo, Mbak. Yowes ngeneki." Iya, Mbak. Ya beginilah.
"Lha ajeng teng pundi, Pak?" Mau kemana, Pak?
"Ajeng check up teng Baptis niku loh." Mau check up kesehatan di Rumah Sakit Baptis Batu.
"Sakit nopo,njenengan?" Sakit apa, Anda?
"Diabetes, Mbak. Winginane mari drop, opname, makane soko rumah sakit dikon check up seminggu peng telu." Diabetes, Mbak. Beberapa waktu lalu habis drop dan dirawat inap, makanya dari pihak rumah sakit dijadwalkan sepekan tiga kali.
"Lha lek biasane pripun, Pak?" Biasanya emang gimana, Pak?
"Biasane yo rong minggu pisan, Mbak. Sewulan peng pindo. Yo goro-goro drop winginane iku saiki kon seminggu peng telu." Biasanya ya dua pekan sekali, Mbak. Sebulan dua kali. Ya gara-gara drop beberapa hari yang lalu itu sekarang disuruh sepekan tiga kali.
Ah, Ya Rabb. Aku teringat dengan rahimahallah nenek tiriku, yang dulu mengidap diabetes sebelum meninggal. Pandanganku masih kepada bapak ini. Orang dengan penyakit diabetes tidak seharusnya bepergian seorang diri. Aku merasa miris mengamati beliau yang sedang berpegangan pada walker-nya.
"Teng dalem kaleh sinten, Pak?" Di rumah dengan siapa, Pak? Aku tidak bisa menahan rasa penasaran, mengapa tidak ada orang yang menemaninya pergi ke rumah sakit.
"Nggeh dewean, Mbak, anak-anak yo wes podo merantau, ning Suroboyo karo Jakarta. Saiki ning omah dewean, umpomo nggletak mati yo ra enek sing eruh." Ya sendirian, Mbak, anak-anak ya sudah pada merantau, di Surabaya dan Jakarta. Sekarang di rumah sendirian, misal tiba-tiba tergeletak mati ya nggak akan ada yang tahu.
Aku merasa ngeri mendengar jawaban beliau.
"Wingi sing aku drop iku yo ngunu, Mbak. Yowes nggletak, semaput. Umpomo ponakanku gak mlebu omah yo paling gak onok sing ngonangi, wes gak ketulung." Kemarin yang aku drop juga gitu, Mbak. Ya sudah tergeletak, pingsan. Umpama keponakanku tidak memasuki rumah ya mungkin tidak akan ada yang mergoki, sudah tidak tertolong.
Sampai di sini aku diam. Aku tidak berani bertanya-tanya lagi. Semoga hal mengerikan seperti itu tidak terjadi pada beliau, batinku. Baru sehari yang lalu aku ada kelas mata kuliah Psikologi Keluarga dan Gerontologi, salah satu mata kuliah wajib konsentrasi Psikologi Perkembangan.
Gerontologi adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari tentang orang-orang lanjut usia, tentang apa saja yang terjadi pada fisik, kognitif, dan sosioemosinya. Dulu, di mata kuliah Psikologi Perkembangan, aku mendapatkan materi bahwa pada tahap usia lanjut manusia dihadapkan pada berbagai kehilangan. Kehilangan pasangan hidup (karena pasangan meninggal lebih dulu), pekerjaan (pensiun), pengaruh, kekuatan fisik, kemampuan kognitif, dan lain-lain. Maka tahap perkembangan pada usia lanjut adalah kesiapan diri untuk menerima berbagai kehilangan tersebut. Pada orangtua khususnya perempuan, ada istilah empty-nest syndrome (sarang kosong) yaitu perasaan kesepian ketika anak-anaknya sudah meninggalkan rumah dan mulai hidup mandiri. Istilah ini selalu melekat dalam benakku, karena ini membuatku teringat pada Mamak di rumah. Ah, aku bersyukur karena Mamak memiliki kesibukan di rumah, jadi kecil kemungkinan Mamak mengalami empty-nest syndrome.
Lalu bapak ini? Beliau hidup sebatang kara di rumahnya. Dengan diabetes yang diidapnya. Beliau bercerita bahwa sehari-hari beliau menjalani hidup sendiri. Walau rumahnya berdekatan dengan keponakan dan kerabat yang lain, mereka tidak sering mengunjungi beliau. Hanya keponakannya yang tiap hari datang mengantarkan beliau makan, karena kebutuhan makannya memang ditanggung keponakannya tersebut.
Sesampai di Rumah Sakit Baptis Batu, beliau meminta bapak sopir untuk mengantarkannya sampai di pintu masuk rumah sakit. Bapak sopir pun memenuhi permintaan beliau, membawa angkotnya memasuki pelataran rumah sakit dan berhenti tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Si bapak ini turun dengan hati-hati, seperti saat masuk ke angkot tadi. Setelah itu angkot kembali melaju meninggalkan rumah sakit.
(Untuk kelanjutannya silakan klik Kelas Angkot 2 ...)
"Teng dalem kaleh sinten, Pak?" Di rumah dengan siapa, Pak? Aku tidak bisa menahan rasa penasaran, mengapa tidak ada orang yang menemaninya pergi ke rumah sakit.
"Nggeh dewean, Mbak, anak-anak yo wes podo merantau, ning Suroboyo karo Jakarta. Saiki ning omah dewean, umpomo nggletak mati yo ra enek sing eruh." Ya sendirian, Mbak, anak-anak ya sudah pada merantau, di Surabaya dan Jakarta. Sekarang di rumah sendirian, misal tiba-tiba tergeletak mati ya nggak akan ada yang tahu.
Aku merasa ngeri mendengar jawaban beliau.
"Wingi sing aku drop iku yo ngunu, Mbak. Yowes nggletak, semaput. Umpomo ponakanku gak mlebu omah yo paling gak onok sing ngonangi, wes gak ketulung." Kemarin yang aku drop juga gitu, Mbak. Ya sudah tergeletak, pingsan. Umpama keponakanku tidak memasuki rumah ya mungkin tidak akan ada yang mergoki, sudah tidak tertolong.
Sampai di sini aku diam. Aku tidak berani bertanya-tanya lagi. Semoga hal mengerikan seperti itu tidak terjadi pada beliau, batinku. Baru sehari yang lalu aku ada kelas mata kuliah Psikologi Keluarga dan Gerontologi, salah satu mata kuliah wajib konsentrasi Psikologi Perkembangan.
Gerontologi adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari tentang orang-orang lanjut usia, tentang apa saja yang terjadi pada fisik, kognitif, dan sosioemosinya. Dulu, di mata kuliah Psikologi Perkembangan, aku mendapatkan materi bahwa pada tahap usia lanjut manusia dihadapkan pada berbagai kehilangan. Kehilangan pasangan hidup (karena pasangan meninggal lebih dulu), pekerjaan (pensiun), pengaruh, kekuatan fisik, kemampuan kognitif, dan lain-lain. Maka tahap perkembangan pada usia lanjut adalah kesiapan diri untuk menerima berbagai kehilangan tersebut. Pada orangtua khususnya perempuan, ada istilah empty-nest syndrome (sarang kosong) yaitu perasaan kesepian ketika anak-anaknya sudah meninggalkan rumah dan mulai hidup mandiri. Istilah ini selalu melekat dalam benakku, karena ini membuatku teringat pada Mamak di rumah. Ah, aku bersyukur karena Mamak memiliki kesibukan di rumah, jadi kecil kemungkinan Mamak mengalami empty-nest syndrome.
Lalu bapak ini? Beliau hidup sebatang kara di rumahnya. Dengan diabetes yang diidapnya. Beliau bercerita bahwa sehari-hari beliau menjalani hidup sendiri. Walau rumahnya berdekatan dengan keponakan dan kerabat yang lain, mereka tidak sering mengunjungi beliau. Hanya keponakannya yang tiap hari datang mengantarkan beliau makan, karena kebutuhan makannya memang ditanggung keponakannya tersebut.
Sesampai di Rumah Sakit Baptis Batu, beliau meminta bapak sopir untuk mengantarkannya sampai di pintu masuk rumah sakit. Bapak sopir pun memenuhi permintaan beliau, membawa angkotnya memasuki pelataran rumah sakit dan berhenti tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Si bapak ini turun dengan hati-hati, seperti saat masuk ke angkot tadi. Setelah itu angkot kembali melaju meninggalkan rumah sakit.
(Untuk kelanjutannya silakan klik Kelas Angkot 2 ...)
Komentar