Kelas Angkot (bag. 2)

(Untuk membaca cerita sebelumnya, silakan klik Kelas Angkot 1...) 

Sepanjang sisa perjalanan aku tidak lagi banyak bercakap-cakap. Bapak sopir kembali fokus dengan kemudinya. Sesekali aku bercanda dengan bocah 8 bulan yang duduk di depan bersama ibunya. Di dalam angkot ini, aku merasa benar-benar sedang kuliah Psikologi Keluarga dan Gerontologi. Dedek bayi 8 bulan ini mengingatkanku pada teori perkembangan kognitif dari Piaget yaitu tahap sensorimotor, di mana anak baru mampu menggunakan seluruh inderanya secara refleks mengikuti apa saja stimulus yang ditangkap inderanya. Bagi anak usia 0-2 tahun, setiap stimulus yang datang adalah hal yang menarik. Pada tahap ini anak cenderung memperhatikan hal atau objek asing lebih lama. Seperti saat ini, dia memperhatikanku. Mungkin karena aku satu-satunya yang memperhatikan dia di angkot ini.

Tiba-tiba aku ingin melakukan eksperimen kecil kepadanya. Kuambil sebuah gantungan kunci bertuliskan "Fakultas Psikologi Universitas Negeri Malang" dari dalam tasku dan kuberikan padanya. Dan benar saja, perhatiannya langsung tertuju pada benda kecil yang tergantung di jemariku itu dan ia berusaha meraihnya. Untunglah gantungan kunci ini tidak terlalu kecil ukurannya, sehingga aman jika kuberikan padanya karena tidak mungkin akan tertelan jika dia memasukkan benda ini ke dalam mulutnya (bagi anak, setiap benda baru adalah makanan baru yang patut dicoba wkwkwk).

Ya, begitulah asiknya bidang psikologi. Karena psikologi adalah bidang ilmu yang mempelajari manusia, maka apa pun tentang manusia adalah pelajaran. Bahkan keisengan bisa disebut eksperimen, haha. Orang psikologi harusnya tidak akan pernah kehabisan topik untuk dibahas, karena  setiap manusia berapapun jenjang usianya dan latar belakangnya, setiap apa yang kita temui sesederhana apa pun itu, selalu menarik untuk dipelajari bahkan menjadi bahan temuan penelitian. Seperti hari ini, di angkot kuning ini. Alhamdulillah.

Sekitar jam 11 siang aku sampai di JP2. Ternyata rombongan datang jam setengah satu setelah makan siang. Setelah membeli tiket, aku menemani Mamak dan adikku memasuki JP2. Lagi-lagi teori-teori perkembangan yang kupelajari di kelas aku hadapi secara langsung di sini, ketika harus bersabar mengikuti si bungsu yang penasaran terhadap ini dan itu, juga menghadapi Mamak yang jalan terburu-buru karena ingin cepat sampai di pintu keluar (lah, Mak, baru aja masuk wkwk). Ternyata, adikku ini lebih suka mengeksplorasi pengetahuan tentang satwa daripada mencoba berbagai wahana permainan. Satu-satunya wahana yang ia masuki hanyalah Bom-Bom Car, itu pun karena aku menemaninya menaiki mobil kendali tersebut. Huft.

Setengah empat sore kami keluar dari wahana. Aku langsung pamit pulang ke Mamak, karena angkot di Batu sudah mulai jarang saat sudah sore. Setelah mendapatkan angkot, aku teringat Iwan. Segera aku mengirim SMS kepadanya.

"Posisi di mana? Jadi ke Jodipan?"

"Lagi di Selecta wkwk. Lha kamu?"

"Udah di angkot. Kalau jadi aku langsung otewe Jodipan. Ketemu di sana. Ala-ala senja di Jodipan gitu wkwk."

"Kejebak hujan ini." Memang saat aku menaiki angkot, tiba-tiba Batu hujan deras. Tetapi saat itu aku sudah sampai di Terminal Landungsari dan hujan sudah reda.

"Nekat aja, hujannya cuma di Batu aja. Ini di Landungsari udah nggak hujan."

"Bentar, si Edwin masih bingung beli apel wkwk."

"Lah. Jadi nggak?"

"Jadi."

"Oke."

Aku kemudian menaiki angkot LG. Seharusnya lebih enak naik AL, turun di Stasiun Kota Baru kemudian bisa jalan kaki sebentar untuk sampai di Kampung Tridi, seberang Kampung Jodipan. Namun ternyata sore itu angkot AL sudah habis, akhirnya aku naik angkot LG, kemudian di Pasar Besar oper angkot AMG sampai di depan Kampung Jodipan (so waste time and money, fiuh).

Tepat jam 5 sore aku sampai di Jodipan. Iwan dan Mas Edwin ternyata masih terjebak macet di sekitar UB. Daripada menunggu di pinggir jalan kayak anak hilang kan, jadi aku masuk ke Jodipan langsung. Untuk diketahui, kampung tematik warna-warni ini terdiri dari dua kampung, yaitu Kampung Jodipan dan Kampung Tridi. Kalau masuk lewat Kampung Jodipan, tiket masuknya Rp3.000,00 dan kamu akan diberi sebuah stiker. Sedangkan kalau masuk lewat Kampung Tridi tiket masuknya juga Rp3.000,00 bedanya di sini kamu akan mendapatkan gantungan kunci dan bebas memilih model gantungan kunci yang kamu suka. Kalau kamu ke sini naik sepeda motor, sebaiknya masuk via Kampung Tridi karena di sini tersedia parkir motor. Untuk parkir motor cukup membayar Rp2.000,00.

Namanya kampung, di sepanjang perjalanan pasti akan kamu jumpai warga setempat. Mereka beraktivitas sebagaimana biasanya dan tidak terusik dengan kedatangan para wisatawan. Beberapa kali aku menyapa saat mereka berpapasan, dan mereka membalas dengan ramah. Jujur, tempat yang seperti ini bagiku menyenangkan. Memasuki Kampung Jodipan, hal pertama yang kutanyakan ke warga setempat adalah masjid. Al masjidu baitu kulli mu'minin, masjid adalah rumah bagi setiap mukmin. Dan memang seharusnya masjid menjadi tempat ternyaman dan paling dirindui bagi setiap mukmin. Di masjid situ aku beristirahat sejenak, tilawah, sampai shalat maghrib berjamaah.

Kok Iwan sama Mas Edwin belum sampai ya?

Ternyata mereka masuk di Kampung Tridi. Oh iya ya, kan mereka bawa motor. Duh.

Dan kami bertemu di jembatan kaca, penghubung antara Kampung Jodipan dan Kampung Tridi #eaa

Sayangnya, di kampung tematik ini masih belum memadai untuk berwisata malam hari. Penerangan jalan masih secukupnya. Jadi masih gelap. Nggak kelihatan warna-warninya. Terus kita bengong, ngapain dong kita sekarang?

"Edwin, sih, kelamaan milih apelnya," sungut Iwan, saat kita bertiga sedang duduk beristirahat di dekat pintu masuk Kampung Tridi. Aku hanya bisa tertawa melihat mereka berdua bertengkar. Ya sudahlah ya, emang belum rezekinya hari ini, hahaha.

Akhirnya kita memutuskan untuk berjalan mencari tempat makan malam. Di perjalanan Iwan berkata, "Wah, kamu kok berani sih, Sil, seharian ini kemana-mana sendirian ngangkot?"

Hmm, iya juga ya? Selama ini aku nggak pernah main kemana-mana, hanya menghabiskan waktu di kampus dan kos. Aku nggak pernah berani kemana-mana dengan alasan "buta jalan" dan takut tersesat, yang tanpa sadar justru aku jadi membatasi gerakku sendiri. Padahal dulu aku pernah punya keinginan untuk melakukan travelling sendirian.

Sekali lagi aku mendapati pembelajaran, bahwa sebenarnya melewati zona nyaman itu sangat mudah. Alhamdulillah fii haadzal yaum, Ya Rabb...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'