Look Up

Entah kenapa tanganku meraih buku bersampul warna putih dan hijau dari kardus buku itu. Tertulis pada headline sampul tersebut, “Album Kenangan”. Kusisihkan buku itu di meja. Akan kubuka setelah selesai membereskan kamar, gumamku.

Setelah semua kubereskan, langsung aku ambil buku itu dan membawanya ke tempat tidur. Kubuka halaman demi halaman. Mulai dari lembar pengantar, berlanjut pada sebuah syair buatan seorang guru. Ternyata aku punya guru yang pandai bersyair, gumamku dalam hati. Kemudian konten halaman mulai beralih, berisi beberapa gambar wajah yang tidak asing semasa putih abu-abu disertai identitas pemilik wajah-wajah itu.

Satu lembar. Dua lembar. Tiga lembar. Jemariku dengan amat perlahan menyibak halaman demi halaman. Beberapa kali aku tertawa cekikikan saat melihat beberapa wajah yang mengingatkan pada kejadian yang lucu. Entah pada lembar ke berapa tiba-tiba tanganku mulai enggan bergerak ke halaman selanjutnya. Jantungku berdegup dengan cepat sehingga membuat hampir seluruh tubuhku bergetar.

What’s wrong, Sil?

Aku menggeleng, sambil kutarik nafas panjang. Lanjutkan, Sil, tidak akan terjadi apa-apa. Agak ragu-ragu aku kembali menyibak halaman selanjutnya. Aku mendengus, masih belum terlihat, gumamku. Lalu aku buka lagi halaman selanjutnya. Dan selanjutnya. Dan selanjutnya. Hingga pada suatu halaman secara reflek aku memejamkan mata.

Ada satu bekas luka yang meradang. Aku tahu, sebab tanganku kurasakan mulai bergetar dengan hebat.

Allah, aku mohon temani aku dan kuatkan aku..              

Aku mencoba tetap mengendalikan diri dan menarik nafas seteratur mungkin. Berusaha mengerti mengapa aku masih merasa demikian.

Adakah aku menyimpan dendam? Kurasa tidak.

Ataukah aku membencinya? Aku menggeleng.

Masih berharap? Aku menggeleng sekali lagi.

Sekadar rindu? Tidak mungkin.

Menyesal?

Agak ragu aku menjawabnya. Sepertinya memang, ya, aku menyesal. Aku menyesal telah meninggalkannya. Aku menyesal mengapa selalu menunda untuk meninggalkannya dan baru berani meninggalkannya setelah perasaan itu membulat.

Sembari membuka halaman-halaman selanjutnya, dalam pikiranku masih berkecamuk. Aku tahu, inilah yang benar sebab aku pergi meninggalkannya karena-Nya. Sebab aku menemui banyak ketidakbaikan selama bersamanya. Dan karenanya aku semakin jauh dari-Nya dan kebaikan-kebaikan-Nya.

Tapi mungkin, karena aku sebagai pihak yang meninggalkan, aku selalu dirudung rasa bersalah. Walau berkali-kali aku menyakinkan diri bahwa kesalahan bukan pada diriku dan semua fakta pun mengatakan demikian, namun sepertinya aku terlanjur terperangkap dalam perasaan itu.

Andaikan kamu di sini sekarang, Yaya. Kurasa aku membutuhkanmu sekarang.

Kamu benar, Ya, aku terlalu perasa. Aku terlalu memikirkan bagaimana perasaan orang lain bahkan ketika hatiku sendiri sedang berdarah-darah. Aku selalu mencemaskan dia saat aku mulai ingin melangkah pergi.

Iya, Ya, aku telah belajar untuk tidak acuh pada apapun tentangnya. Dan memang, seharusnya ini menjadi hanya tentang aku saja, bukan lagi dia. Mungkin memang aku sendiri yang bermasalah, sebab terlalu keras menghakimi diri pada kesalahan yang bukan milikku.

Ya, memaafkan orang lain itu mudah. Menghabiskan dendam pada orang lain itu mudah. Menghapus kebencian pada orang lain itu mudah. Namun mengapa semua menjadi sulit ketika objeknya adalah diri sendiri?

Aku harus bagaimana lagi agar bisa memaafkan diriku, Ya?

Kututup buku itu sebab kurasa sudah tidak ada lagi menarik. Ah, kukira setelah hampir 3 tahun berlalu luka itu telah membaik. Walau aku sudah berhasil menepisnya dalam hati, namun bekas luka itu masih saja meradang. Mungkin itu sebabnya mengapa aku selalu menganggap bercanda semua hal yang berbau romansa. Huft, sepertinya ini akan jadi PR untuk setahun ke depan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'