"Kearab-araban"?

Beberapa hari yang lalu sempat kesel sama seorang mas yang ngechat โ€œKamu kenapa ya suka dari luar Indonesia. Apalagi yang kearab-araban?โ€ Apalagi pas mood lagi nggak baik. Mungkin bener kata Na, kalau aja mas itu ngomong gitu langsung di depanku mungkin udah beneran kujitak kepalanya. Kesel sih, endingnya mesti nyangkut-pautin dengan nasionalisme dan identitas bangsa. And then tangan dan otak gabutku mendorongku untuk menulis ini. Nggak bagus sih, namanya juga celotehan orang yang lagi badmood. Oke, selamat membaca, sambil dinikmati hidangan paginya yang ala kadarnya. 

***

Inget dulu jaman masih SD, suka banget sama buku-buku tentang Walisongo, apalagi sama filosofi tembang-tembang karya mereka. Beliau-beliau ini nggak bodoh loh, tapi keren menurutku. Mereka paham konsep "hijrah by process" dan menerapkannya dalam dakwahnya, agar pengetahuan tentang Islam yang awalnya asing bisa diterima sama masyarakat awam. Menghilangkan kebiasaan masyarakat yang udah mendarah daging itu nggak mudah (if you paham tentang teori sosial). Rasulullah pun mengalaminya kan?

Ya walau dengan konsekuensi dakwah akan selesai dengan waktu yang sangat lama karena menekankan pada proses.

Lalu semua berubah sejak Eropa datang. "Dakwah by process" yang belum usai terpaksa ditunda karena semua fokus berjuang melawan penjajah, termasuk Walisongo dan para syeikh yang lain.
Sayangnya, sampai akhir hayat mereka belum menyelesaikan dakwah yang terlanjur mereka mulai dengan metode itu. Jadilah pengetahuan orang awam tentang Islam menggantung, antara paham atau tidak.

Gitu sih kesimpulanku dulu, dan aku yakin banyak juga yang menyimpulkan begitu.

Sekarang zaman udah berubah. Indonesia udah merdeka. Apa salah kita belajar Islam lebih mendalam, dengan cara yang mereka bilang 'kearab-araban'?
Rasulullah loh nggak melarang tasyabbuh (meniru-niru) jika itu baik.
As you know, banyak loh budaya-budaya/tradisi-tradisi di Jawa yang ditinggalkan para Walisongo itu yang menurutku kearab-araban.

Misal kalau di pernikahan itu selalu pasang janur kuning. Janur itu berasal dari Bahasa Arab "Ja'a nuur" yang artinya telah datang cahaya, makanya yang namanya janur itu yang warna kuning, bukan ijo. Dan masih banyak filosofi di dalam janur kuning itu.

Terus kalau selamatan orang meninggal itu harus ada apem. As you know, apem berasal dari Bahasa Arab "'afwun" yang artinya memohon ampun, mereka ingin menyampaikan kepada masyarakat untuk senantiasa memohon ampun kepada Allah.

Terus kalau selamatan kelahiran ada jajanan dari tepung (tepung apa aku lupa) dan gula jawa yang namanya iwel-iwel, yang sebenarnya dari kalimat "la ilaaha illallah". Itu juga ada filosofinya, bahkan dalam pemakaian bahan jajannya (mengapa pakai tepung warna putih dan gula warna merah), yang tujuannya untuk dakwah.

Dan kalau lebaran ada ketupat, lepet, lontong dsb. Suguhan yang khas waktu lebaran itupun ada nilai filosofisnya.

Dan masih buanyak lagi.

Eh btw, dari tadi kok makanan tuwerus ya? Wkwk ๐Ÿ˜…
Soalnya di Indonesia makanan itu melimpah, dan dalam ritual-ritual sebelum Islam masuk pun banyak pakai makanan (maksudnya semacam acara makan besar/makan bersama), jadi deh media dakwah ๐Ÿ˜‹
Tahu kenduri kan? Orang Jawa seringkali menyebutnya banca'an yang berasal dari Bahasa Cina yang berarti melingkar/lingkaran (aku lupa Bahasa Cina-nya apa), yaitu orang-orang berkumpul (membentuk lingkaran) untuk mengadakan suatu ritual dan makan bersama. Kebiasaan Cina yang sudah berjalan di Jawa inilah yang kemudian oleh Walisongo dimodifikasi menjadi kenduri, dengan konsep ritualnya diganti menjadi dzikir bersama.

Makanya aku suka geli sama mereka yang nggak suka kearab-araban, padahal moyang mereka loh gitu ๐Ÿ˜…
Memang sih nggak semua Walisongo itu berdarah Jawa asli dan emang ada yang beneran dari Arab.

I know, mereka (Walisongo dll) nggak bermaksud menciptakan bid'ah, mereka berusaha menyampaikan dengan metode yang bisa diterima masyarakat zaman itu.  Sebab Islam itu rahmatan lil 'alamin dan mereka ingin menyampaikan itu ke masyarakat awam dengan cara halus dan damai, bukan dengan kekerasan apalagi pemaksaan. Yakali masak mereka bodoh nggak paham tentang bid'ah, lha wong belajarnya aja di tanah Arab yang notabene keras dengan itu.

Gini deh, kalau sebagai warga negara kita punya fitrah untuk cinta tanah air, sebagai muslim pun seharusnya juga lumrah kalau suka bahkan cinta tentang hal-hal yang berbau Arab. Kan Rasulullah lahir dan hidup di sana, begitupun pusat perkembangan Islam juga ada di sana. 


ุงู„ู…ู‚ุงุตุฏ ุงู„ุญุณู†ุฉ ููŠู…ุง ุงุดุชู‡ุฑ ุนู„ู‰ ุงู„ุฃู„ุณู†ุฉ 
ุฑู‚ู… ุงู„ุญุฏูŠุซ: 31
(ุญุฏูŠุซ ู…ุฑููˆุน) ุญูŽุฏููŠุซูŒ : " ุฃูŽุญูุจู‘ููˆุง ุงู„ู’ุนูŽุฑูŽุจูŽ ู„ูุซูŽู„ุงุซู : ู„ุฃูŽู†ู‘ููŠ ุนูŽุฑูŽุจููŠู‘ูŒ ุŒ ูˆูŽุงู„ู’ู‚ูุฑู’ุขู†ู ุนูŽุฑูŽุจููŠู‘ูŒ ุŒ ูˆูŽูƒูŽู„ุงู…ู ุฃูŽู‡ู’ู„ู ุงู„ู’ุฌูŽู†ู‘ูŽุฉู ุนูŽุฑูŽุจููŠู‘ูŒ " . ุงู„ุทุจุฑุงู†ูŠ ููŠ ู…ุนุฌู…ูŠู‡ ุงู„ูƒุจูŠุฑ ูˆุงู„ุฃูˆุณุท ุŒ ูˆุงู„ุญุงูƒู… ููŠ ู…ุณุชุฏุฑูƒู‡ ุŒ ูˆุงู„ุจูŠู‡ู‚ูŠ ููŠ ุงู„ุดุนุจ ุŒ ูˆุชู…ุงู… ููŠ ููˆุงุฆุฏู‡ ุŒ ูˆุขุฎุฑูˆู† ุŒ ูƒู„ู‡ู… ู…ู† ุญุฏูŠุซ ุงู„ุนู„ุงุก ุจู† ุนู…ุฑูˆ ุงู„ุญู†ููŠ

'Cintailah oleh kamu akan Arab karena tiga hal : karena aku orang Arab, al Qur`an berbahasa Arab dan pembicaraan ahli surga dengan bahasa Arab' (HR. at Thabrani, al Hakim, al Baihaqi dan selainnya).

Walau hadits itu dinilai dho'if (lemah) karena dalam sanadnya terdapat nama 'Ala` bin Amr al-Hanafy, orang yang telah disepakati para ulama ahli hadits bahwa beliau dinilai dho'if dalam meriwayatkan hadits. Tapi gampangnya gini deh, misal kamu suka sama seseorang, terus apa yang disukai sama si dia dan apa pun tentang dia mendadak kamu ikut suka juga, wajar nggak? (Well, nggak usah diterusin dah, nanti baper ๐Ÿ˜‹)

Masih mikir mereka yang kearab-araban itu berarti arabisasi dan melupakan identitas Indonesia?
Mending pikirin apa kabar westernisasi, bukannya Indonesia ini menganut budaya Timur ya?

Terus nih buat yang katanya "kids jaman know", masak masih mau belajar Islam pake metode ala "kids jaman ancient"? Nggak ada perubahan dong?
#eh

Nggak ada yang salah sih sebenarnya, karena perbedaan itu indah. Lebih indah sebab itu skenario-Nya ๐Ÿ’•

Coba bayangin, andaikata nih Walisongo berhasil menuntaskan dakwahnya. Semua jadi paham agama. Nggak ada isu bid'ah dan semacamnya. Semua merasa sudah menjadi baik dan nggak ada usaha perbaikan. Nggak ada pengembangan ilmu. Kan nggak asyik. Kan repot.

Kalau kayak gini kan kita jadi kritis, terpancing buat belajar, buat mencari kebenaran. Aku pun masih bodoh dan belajar.

Kalau tahu kisahnya RA. Kartini yang baru sempat belajar Al Qur'an sampai juz 13.
Mungkin pernah denger kalimat semacam ini "Andaikata RA Kartini sudah belajar Al Qur'an sampai ayat tentang jilbab, tentu beliau akan berjilbab, dan kita akan menemui gambar RA Kartini di sana sini menggunakan jilbab syar'i.
๐Ÿ˜‹

Tapi sekali lagi, ini semua skenario-Nya. Kalau RA Kartini belum sempat, giliran Kartini jaman now dong yang melanjutkan ๐Ÿ˜…

Maaf, mood lagi nggak bagus, jadi nyerocos sana sini. Tapi daripada senggol bacok kan, mending ngajak belajar bareng ๐Ÿ˜‚

Inspirasi => QS. Ar-Ra'd [13:31]

Selamat pagi dan selamat beraktifitas. Barakallahu fiikum ๐Ÿ’•๐Ÿ˜Š
(nah kan mulai kearab2an ๐Ÿ˜…)

(Kemudian teringat semasa MTs, saat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam menjadi salah satu mata pelajaran favorit. Dan sepagi ini udah ngelamun, andai enam tahun yang lalu aku memutuskan untuk masuk MA dan mendalami mata pelajaran itu, apa jadinya aku di masa sekarang ya?)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'