Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Denial

Entah apa istilah yang cocok untuk aku: pemalas tapi tidak nyaman kalau hanya berdiam diri saja, tetapi juga bukan orang yang aktif apalagi hiperaktif karena aku pada dasarnya kurang inisiatif untuk memulai. Dan lagi, walau aku suka bergerak, aku bukan orang yang gesit. Mungkin orang lain akan menilai kalau aku orang yang lamban kerjanya. Aku menyadari itu sih, salah satunya untuk membuat satu tulisan di blog. Satu tulisan bisa saja memakan waktu berhari-hari, berpekan-pekan, bahkan yang lebih parah berbulan-bulan (ada satu draft tulisan dari sejak berbulan-bulan yang lalu dan sampai sekarang belum aku lanjutkan). Yang membuat lama biasanya sih faktor mood, he he. Soalnya aku tipe orang yang suka menuruti apa saja yang aku rasakan. Jadi kalau suasana hati sedang baik ya dikerjakan, kalau tidak ya tinggalkan, selama hal itu tidak menyinggung atau berurusan orang lain.  Dan ya, aku tipe orang yang bisa dikatakan sulit untuk berhubungan dengan orang lain. Dikombinasikan dengan sifat

Kelas Angkot (bag. 2)

(Untuk membaca cerita sebelumnya, silakan klik Kelas Angkot 1 ...)   Sepanjang sisa perjalanan aku tidak lagi banyak bercakap-cakap. Bapak sopir kembali fokus dengan kemudinya. Sesekali aku bercanda dengan bocah 8 bulan yang duduk di depan bersama ibunya. Di dalam angkot ini, aku merasa benar-benar sedang kuliah Psikologi Keluarga dan Gerontologi. Dedek bayi 8 bulan ini mengingatkanku pada teori perkembangan kognitif dari Piaget yaitu tahap sensorimotor, di mana anak baru mampu menggunakan seluruh inderanya secara refleks mengikuti apa saja stimulus yang ditangkap inderanya. Bagi anak usia 0-2 tahun, setiap stimulus yang datang adalah hal yang menarik. Pada tahap ini anak cenderung memperhatikan hal atau objek asing lebih lama. Seperti saat ini, dia memperhatikanku. Mungkin karena aku satu-satunya yang memperhatikan dia di angkot ini. Tiba-tiba aku ingin melakukan eksperimen kecil kepadanya. Kuambil sebuah gantungan kunci bertuliskan "Fakultas Psikologi Universitas Negeri

Kelas Angkot (bag. 1)

9 April lalu adikku bungsu yang baru berusia 5 tahun berekreasi ke Jatim Park 2 atau JP2. Sama rombongan TK-nya sih, hehe. Rekreasi anak TK itu identik dengan..yup, orang tuanya pasti ikut mendampingi. Mamakku yang akhirnya memutuskan menemani perjalanan adikku.  Sebulan sebelumnya, aku langsung mengagendakan hari itu khusus untuk pergi ke JP2 setelah mendapat kabar bahwa TK adikku akan rekreasi ke sana. Malang ke Batu nggak jauh lah ya. Kapan lagi bisa ketemu Mamak tanpa harus menjamur di bus selama 7 jam? Apalagi hari itu hari Kamis dan aku memang tidak ada kuliah hari Kamis. Fix , agendakan!  Hihi, tumben ya aku bisa merencanakan agenda, padahal biasanya aku orang yang spontan yang kalau pengen apa langsung nyeloyor berangkat aja. Sungguh ini adalah suatu pencapaian besar dan harus diapresiasi, haha..  H-3, aku baru kepikiran. Btw aku mau naik apa buat sampai ke Batu? Mau minta tolong anter teman, eh malah pada full kuliahnya hari itu. Mau pinjam motor, belum punya SIM

Menapak Langkah

Perempuan yang baik sungguh tak pernah menghendaki untuk menjejakkan kesan pada setiap hati laki-laki yang dikenalnya. Barangkali. Ia berlaku baik sebagaimana ia mengartikan kata baik itu sendiri. Tetapi laki-laki memang mudah terkesan pada perempuan yang demikian. Itu fakta, dan itu fitrah.  Tepat saat dia melewati wilayah kediaman seseorang yang dia kenali. Seorang laki-laki yang ia tahu pernah menempatkan namanya pada hatinya. Tiba-tiba ia kembali merasakan sensasi perasaan gelisah itu lagi. Tentang harus bagaimana selanjutnya ia harus berbuat. Memang laki-laki itu tak memberitahunya secara jelas bahwa ia menyukainya. Tetapi perempuan itu tahu. Sungguh bukan hal menyenangkan jika kamu dapat mengetahui sesuatu sebelum kamu diijinkan untuk mengetahuinya. Seakan kamu dituntut menyelesaikan masalah saat itu juga padahal masalah itu sebenarnya belum terjadi. Setidaknya, menyusun rencana solusi.   Ada yang mengganggu pikirannya. Jika laki-laki itu menyukainya, haruskah ia memutus

Terimakasih (Lagi)

Jika kamu melihatku selalu sibuk dengan duniaku, tak perlulah kamu kasihani aku Jika kamu melihatku berusaha lebih keras memacu diriku sendiri, janganlah coba tumbuhkan inginmu untuk kembali mengajari tentang cinta Jika kamu melihat upayaku melapangkan diri sendiri atas semua kecewaku, maka tak perlu lagi kamu merasa bersalah atas diriku Dan jika, kamu melihat semua perubahan pada diriku yang kini, kuberitahu, jangan percaya diri bahwa aku melakukannya karenamu Waktu telah berjalan, entah cepat entah perlahan (sesuka hatimu mengartikannya) Membersamai jejak mengulur gulungan jarak dan kesempatan Membuat kamu kini hanya menjadi bagianku yang telah lalu, saja Aku tak lagi dendam, dan dengan lapang hati kini kunyatakan aku telah berdamai Namun demi jarak dan kesempatan yang telah terulur membentang menjauh Tempatmu bagiku kini di jauh di belakangku, tak akan lagi nampak siapa dirimu di mataku Bahkan jika kamu memanggil, aku hanya dapat menoleh dan tersenyum Tidak untuk mengha

Quiet (3)

Hai. *krik-krik* Ah langsung saja. Masih seputar usahaku dalam men-terapi diri sendiri. Quiet. Yah, sepertinya aku semacam kecanduan melakukan ini. Akhir-akhir ini aku jadi teringat tentang masa kecilku. Aku dilahirkan di situasi yang cukup banyak konflik. Bukan penuh konflik, hanya cukup banyak. Di lingkungan yang dipenuhi orang-orang yang temperamental, semua orang selalu menaruh pandangan curiga satu sama lain. Masyarakat yang kurang sehat. Alhamdulillah, masih ada yang bisa kusyukuri: lingkunganku masih memiliki rasa sadar akan kebutuhan religius, tidak seperti kampung tetangga yang, menurutku, mengalami banyak kerusakan di masyarakatnya. Sewaktu SD dulu, mayoritas teman sekelasku (bahkan hampir seluruh siswa di SD-ku) adalah dari kampung tetangga itu. Jadi setiap hari aku sudah terbiasa mendengar mereka berkata-kata kotor dan kasar bahkan menyaksikan kenakalan-kenakalan fisik yang mereka lakukan. Kalau di antara mereka absen alias bolos sekolah, semua warga sekolah