Hai Kembali

Hari ke-6 #PosCintaTribu7e 2017

Hai, kamu, sahabat kecil yang kini menjalani kehidupan di tanah kelahirannya.

Ini adalah kali kedua aku menujukan surat yang kutulis kepada kamu, setelah surat yang pertama di #30HariMenulisSuratCinta berjudul ‘Cinta Monyet’ dua tahun lalu. Kamu membacanya? Ah, sepertinya tidak, karena tak ada yang menyampaikan suratku itu kepadamu. Walau begitu kurasa tidak ada yang salahnya jika di sini aku menyapamu dengan: Hai, kamu, apa kabar? 

Masih kuingat pertemuan terakhir kita saat tahun baru 2016 lalu, saat meetup bersama teman-teman sekelas kita dulu. Kebetulan saat itu aku dan Widia sedang cuti kuliah dan kamu sedang berkunjung ke kota masa kecil kita. Senang sekali berkumpul kembali bersama kalian semua, walau semua tak lagi sama seperti dulu, namun keceriaan kita tetap tidak berubah. 

Ya, kita semua telah mulai beranjak dewasa. 

Rasa-rasanya aku ingin kembali mendengarkan curhatan-curhatan kalian sambil nangkring di atas pohon belimbing di belakang rumah Ayuk, atau gosip tipis-tipis di pohon mangga neneknya Anis yang dahan pohonnya tumbuh ke samping, yang mirip kursi panjang. Atau memanjat pohon ceri dan memetik buah-buahnya yang merah ranum atau yang masih kehijau-hijauan di depan rumah Pak Mamik tukang kebun sekolah kita.

Atau kamu masih ingat waktu kita bersepeda di daerah Nglajo yang terkenal dengan jalanannya yang turun naik, namun aku tetap nekat ikutan, padahal rem sepedaku sedang rusak. Dan ketika melewati jalan yang menurun aku berusaha mengerem dengan kakiku yang saat itu tidak memakai alas kaki alias ceker ayam, yang mengakibatkan jari-jari kaki kananku luka-luka dan berdarah. 

Lalu esok paginya, saat aku masuk kelas dengan langkah tertatih, kamu menyambutku dengan bersorak kemudian menceritakan betapa hebatnya aksi jalananku ke semua teman-teman di kelas dengan bersemangat. Hahaha. Walau sedikit memalukan, namun aku suka saat itu. Aku selalu suka saat kamu terlihat bersemangat. Rasa yang ada saat itu memang sesederhana itu. Tapi sayang, di hari yang sama saat kakiku terluka kamu malah menyatakan perasaaanmu ke Diah. Belum selesai sampai di situ saja, aku juga jadi mak comblang kalian. 

Fix, yang kamu lakukan ke aku itu JAHAT! 

Hahaha, ya enggak lah Wan, bercanda aja. 😝

Wan, 
Aku yakin teman-teman kita selalu merindukanmu kedatanganmu. Tapi bisa kupastikan, aku yang paling rindu. 

Yang paling tidak kusukai dari pertemuan adalah akan adanya rindu yang diciptakan oleh perpisahan setelahnya. Benar saja, keesokan harinya setelah meetup kamu kembali ke kota kelahiranmu itu, tanpa kepastian kapan kamu akan datang lagi ke kota yang penuh dengan tumpukan kisah kenangan masa kecil kita. Rindu dengan cepat menggantikan kehadiranmu setelah keberangkatanmu. 

Seringkali aku iri ketika aku mendapatkan kabar tentangmu dari Widia, aku iri dengan kedekatan kalian setelah kepindahanku ke luar kota (sebut saja luar kota, walau mungkin jaraknya tidak lebih dari 3 km. Jarak 3 km terbilang cukup jauh untuk anak-anak seusia kita saat itu bukan?). Kudengar kalian bahkan sempat menjalin hubungan, tak heran juga jika kalian masih sering berbalas pesan di medsos. Aku, apa yang dapat kulakukan, mengawali percakapan denganmu saja aku tak memiliki keberanian. Kalau toh kita mengobrol, mungkin tak banyak juga yang dapat kita bicarakan. Aku terlalu pendiam semenjak kepindahanku dulu, dan kurasa kamu mengetahui itu saat meetup.

Ya sudahlah, segalanya sudah terjadi. Aku menyimpan rapi seluruh kenangan kebersamaan kita. Aku tidak ingin menyesali apa yang telah masing-masing dari kita putuskan, termasuk pengunduran diriku dari sekolah tempat kita mendaftar bersama dulu. Kebersamaan lima tahun kita sudah pasti bermakna berbeda untuk masing-masing kita. Kehadiranku untukmu mungkin hanya sebatas teman sekelas saja yang jalan pulangnya searah (jadi kepengen nyanyi lagunya JKT48 Futari Nori no Jitensha), teman main, teman ngaji, teman mengerjakan PR tiap habis Isya’ (hihi, jadi ingat waktu nungguin kamu datang ke rumah tapi aku malah ketiduran di sofa 😂), teman curhat tentang Widia dan Diah yang sering berantem gara-gara rebutan kamu, bahkan setelah kita lulus 😪, mak comblangmu, hingga jadi sahabatmu. Sedangkan kehadiranmu bagiku adalah sebagai seorang sahabat kecil yang paling dekat dan salah satu pengajar terbaik tentang ketulusan memberi dan juga kerelaan. Aku dulu begitu mengagumimu, namun aku tidak pernah berani mengatakan itu, karena aku takut kamu akan menjauh setelah itu. Aku cukup bahagia setiap melihatmu mendapatkan apa yang kamu inginkan, termasuk mendekati salah satu dari dua temanku, Widia dan Diah. 

Karena aku selalu merasa cukup mendapatimu selalu di sisiku, apapun yang terjadi denganku. Bahkan saat aku sakit tifus dan harus dirawat di rumah sakit, kamulah satu-satunya yang paling sering datang menjengukku. Padahal rumah sakit sangat jauh dan harus melewati banyak jalan raya yang berbahaya untuk anak kecil yang hanya mengendarai sepeda. Kamu juga menjadi satu-satunya yang masih menemaniku saat anak-anak sekelas salah paham atas apa yang aku katakan dan menjauhiku karenanya. Terima kasih atas semuanya, dan terima kasih telah memilihku sebagai sahabat kecilmu. 

Semoga masih tetap diliputi kebahagiaan selalu dan sukses terus. Dan semoga tercapai kebersamaanmu dengan dia yang selalu kamu semogakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idza Ma Qala Li Rabbi

Yang Bisa Didapatkan Dengan Lima Ribu Rupiah

Filosofi 'Adang Sego'